Find Me…Like Me…

Find Me..Like Me…

By. Ellena Han

Rate: T

Genre : Romance

Cast: Li Xu a.k.a Kim Ryewook n OC

Disclaimer: Im only own the story line, chara isn’t mine

~~happy reading~~

Tok..took….tokk….

Mungkin hanya mimpi…. Aerin kembali meringkuk dalam selimutnya.

Tookkk..tokk..tokk…

Suar itu lagi… Ya ampun..

Siapapun yang membuat suara sialan itu untuk mengganggunya tak akan dimaafkan. Aerin bangundari balik selimut, mengucek mata bulatnya sejenak, mencoba mengembalikan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.

Jam 5 pagi, what the….

Orang kurang kerjaan mana yang mengetuk pintu apartemennya pada pukul 5 pagi…?

Gadis itu kembali mengeluh perlahan, ketika ketukan yang kali ini mulai berubah menjadi pukulan berisik itu terdengar semakin keras. Sial….orang itu bisa membangunkan seluruh penghuni gedung, jika tidak berhenti mengetuk seperti itu.

Aerin turun dari ranjangnya, melangkah dengan sedikit menyeret kakinya. Dia bahkan sedang bermimpi indah tadi dan tidak begitu rela meninggalkan mimpinya bersama kekasihnya hanya demi sebuah ketukan pintu.

Tapi, yah…hal ini tetap harus dilakukan mengingat siapapun itu bisa menyebabkan keributan antar penghuni gedung.

Tangannya sudah hampir menyentuh pintu ketika ketukan itu sudah tak terdengar. Hening, membuat kening Aerin berkerut. Rasa anehnya sama seperti baru saja ada orang yang mematikan musik yang distle dengan volume keras.

Buka atau tidak..? Gadis itu masih termangu, menimbang apa yang sekiranya baik dia lakukan…buka atau tidak…?

Well…akhirnya tetap rasa penasarannya akan mengalahkan segalanya. Aerin membuka pintu depan dan yang pertama kali dia lihat adalah…kosong…

Ya kosong…alias tak ada atau bisa juga disebut nihil.

Kerutan di kening gadis itu semakin bertambah. Kosong…? Apa benar tadi dia hanya bermimpi..? Tapi, suara tadi…?

Kepalanya sibuk menoleh kekanan kekiri. Lorong di sepanjang kamarnya kosong tak ada seorangpun baik manusia atau bukan yang tampak berkeliaran di sana.

Kerutan didahi sekarang berganti menjadi kerucut bibir. Sial…sial…jadi, dia rela meninggalkan mimpi indahnya hanya demi orang sinting yang mengerjainya. Oh….brilliant…!

Aerin sudah berniat membanting pintu rumahnya ketika matanya menangkap sebuah amplop di bawah kakinya.

Nah…bisa di tebak jika rasa penasarannya tetap mengalahkan segalanya.

Di ambilnya amplop itu, tak ada nama pengirim, hanya sebuah kalimat singkat jika amplop itu memang untuknya.

Apa ini…? Surat cinta…? Atau surat tagihan atau sebuah pesan dari pengagum rahasia…?

Apapun itu, Ae berharap surat ini akan memberinya hal berguna karena sudah membuatnya bangun dari tidurnya yang nyaman.

Jarinya mengelus keliman amplop dan tersentak sedikit ketika lipatan itu terbuka dengan mudah. Sebuah kertas surat ungu muda tersembul keluar. Aerin membuka kertas itu dengan sedikit tak sabar. Barisan tulisan tangan rapi langsung menyapa penglihatannya. Huruf-huruf indah milik Ryeo nya… ya..tak salah..ini memang tulisan tangan kekasihnya itu. Tapi, untuk apa…kenapa kekasihnya itu tiba-tiba menulis surat untuknya..?

Sambil menahan tanya, Aerin mulai membaca satu demi satu kata yang terangkai.

Dear my lovely baby….

(astagaa..bagaimana bisa pipinya merona hanya dengan membaca satu kalimat ini saja..?)

Aku tahu, kau mungkin akan cemberut ketika menerima surat ini, maaf karena aku sudah mengganggu pagimu, Sayang…

(Aerin menggeleng pelan, terkikik sambil menutup mulutnya).

Tapi…aku janji, aku akan mengganti semua kerugianmu karena aku telah membuatmu bangun pagi….

(kali ini rona panas itu sudah sampai ketelinga Ae)

Hei..hei..jangan merona seperti itu, Love…

(“Aku tak merona Oppa…”, Aerin bermonolog, menggigit bibirnya menahan senyum.)

Jadi..seperti ini Love…aku punya satu permainan untukmu..apa kau mau…?

(kepala gadis itu mengangguk cepat)

Tapi..ini akan sedikit menguras tenaga, dan aku harap kau tak keberatan. Aku akan memberimu petunjuk, pertama pergilah ke toko kue di ujung jalan dan dapatkan apa yang akan kau temukan disana…

(Aerin sudah akan berlari saat itu juga ketika matanya menangkap kalimat Ryeo di paragraf terakhir)

Love…tentu kau tak akan lupa untuk mencuci muka lebih dulu kan…?

Sincerely..

Ryeo
.
.
.
.

Wajah Aerin sekarang sudah bisa disamakan dengan merahnya kepiting rebus. Kepalanya kembali sibuk mencari dan tetap nihil, tak ada tanda yang menunjukkan adanya kekasihnya disana.

Secepat kilat gadis cantik itu berlari ke kamar mandi, membersihkan diri, menggosok gigi, siapa tahu nanti Ryeo akan menciumnya, dan bergegas kembali lagi keluar apartemen, menuruni anak tangga, dua sekaligus sekali lompat.

Menormalkan sejenak nafasnya yang terengah, sebelum mengayuh sepedanya ke ujung jalan.

Sebuah toko kue. Toko kue langganannya dan Ryeo. Aerin ingat jika mereka berselisih pendapat, maka hanya perlu sepotong cheese cake dari toko ini untuk mendamaikan mereka.

Sepeda Ae berhenti tepat di depan toko, meneliti toko itu dari sudut ke sudut, mencoba mencari apa yang sekiranya bisa dia temukan.

Hingga mata bulatnya menangkap amplop yang sama, hanya kali ini lebih besar, terselip di pintu depan toko.

Dengan antusiasme yang berlebihan gadis itu meraihnya, membukanya dan menemukan surat ungu yang sama. Dan satu lagi, dengan sebuah huruf kertas besar.

Huruf W…? Untuk apa Ryeo memberinya huruf W.. ?

Mata Aerin kembali menyusuri surat di tangannya.

Wahh..kau cepat sampai Love…kau berhasil mendapatkan suratmu yang pertama, dan ini petunjuk kedua.

Bersepedalah 10 menit ke utara dan kau akan bertemu petunjuk selanjutnya..

Oh..jangan lupa bawa hurufnya Love..
.
.
.
.
.

Kerutan di dahi yang sempat hilang itu kembali. 10 menit…? Oh..baiklah…demi Ryeo akan dia lakukan.

Aerin kembali mengayuh sepedanya, ke utara, tepat 10 menit dari toko kue tadi.

Dan, sepedanya berhenti didepan sebuah Cafe.

Illusionist cafe.

Aerin ingat tempat ini, adalah tempat pertama kalinya dia bertemu Ryeo. Pertemuan tak sengaja 1 tahun lalu, ketika dia sedang sibuk meratapi patah hatinya.

Lagi-lagi Ae melihat amplop yang sama. Tanpa pikir panjang Aerin meraih kertas yang ada di dalamnya. Sebuah surat dan kali ini dengan huruf, 3 buah huruf lebih tepatnya.

“Sekali lagi selamat Love…kau menemukan tempat ini, tentu kau masih ingat tempat ini, bukan…?

Ya…tempat ini adalah tempat Tuhan mempertemukan kita untuk pertama kalinya, dan yeah..hal itu adalah hal yang akan selalu aku syukuri seumur hidupku. Dan well…karena kerja kerasmu kali ini aku akan memberimu 3 buah huruf.

(Aerin mengambil 3 huruf yang dia dapatkan, I L L)

Kau tahu Baby, 3 huruf ini adalah 3 huruf terdepan dari nama Cafe ini, dan aku harap kau juga tak akan pernah melupakan kenangannya…

Jadi, siap untuk petunjuk selanjutnya, Baby..?

Baiklah…bersepedalah lagi 15 menit ke barat dan…sampai jumpa disana…”
.
.
.
.

Aerin melipat kertas ungu muda itu dengan rapi, bergegas kembali melanjutkan perjalanannya.

Huruf-huruf ini, dia sudah mendapatkan 4. Huruf pertama W dan 3 huruf berikutnya I L L.

Will…? Will apa…? Apa yang sebenarnya ingin Ryeo katakan…?

Aarrrggghhh…

Sebelum rasa penasaran membuat kepalanya pecah, Aerin bergegas mengikuti petunjuk selanjutnya. Mengabaikan tetesan keringat yang mulai membasahi muka dan kaos yang dia pakai.

Ugghh….sungguh, jika bukan demi kekasihnya itu, jangan harap Ae akan rela melakukan ini semua.

Gadis itu menghentikan kayuhannya ketika tepat 15 menit. Sesuai petunjuk kekasihnya.

Dan…apa yang dia temukan justru semakin membuatnya tak mengerti.

Aerin berdiri diam di depan bangunan putih besar itu. Sebuah rumah sakit.

Oh….kalian jangan berfikir tentang hal buruk. Tidak..tidak…Ryeo nya tak ada disini.

Tunggu…sejak tadi dia sudah dibuat mengelilingi tempat-tempat yang merupakan tempat penuh kenangan bagi mereka. Atau bisa juga di katakan sebagai tempat favorit Ae dan Ryeo.

Pertama, toko roti tadi, lalu cafe tempat pertama kali mereka bertemu, dan sekarang rumah sakit ini.

Ingatan Ae mau tidak mau kembali pada kenangan itu. Ditempat inilah, Aerin menyadari jika Ryeo sangat berarti untuknya. Dia tak bisa kehilangan ataupun jauh dari pemuda itu, tak akan pernah bisa.

Saat itu, untuk pertama kalinya mereka bertengkar hebat, hingga mengakibatkan Ryeo nya menghilang entah kemana.

Aerin masih ingat juga ketika saat itu dia berusaha menekan rasa khawatirnya dan mengedepankan ego.

Entah siapa yang mengabarinya saat itu, yang jelas beberapa hari berikutnya Ae tahu jika ternyata Ryeo nya jatuh sakit. Ya..kekasihnya itu dirawat disini. Susah payah Aerin menahan dirinya untuk tak berlari saat itu juga menemui Ryeo.

Dan yeah…hasilnya sudah bisa di tebak bukan Aerin justru merasa semakin sakit. Dan satu malam itu dia menyerah, berlarian di sepanjang lorong rumah sakit dan menubruk tubuh Ryeo yang sedang tertidur. Membuat kekasihnya itu terlonjak kaget, tak lama karena pria itu justru semakin bingung melihat Aerin yang menangis tergugu di dadanya sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Ya…tempat ini..tempat yang mengingatkannya jika dia tak mau kehilangan Ryeo.

Aerin menyusuri taman rumah sakit itu, menyapukan pandangannya kesekeliling area yang dia ingat benar itu.

“Hei Nona…”

Langkah Aerin berhenti. Seorang perempuan paruh baya terlihat menghampiri dirinya.

“Iya Bibi…”

“Kau yang bernama Aerin…?”

Gadis itu mengangguk.

“Ada seseorang yang menitipkan ini untukmu…”

Aerin menerima amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mengucapkan terimakasih pada Bibi yang tersenyum tulus untuknya itu.

Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke bangku taman terdekat.

Hello lagi Love…

Wahh..kau sungguh hebat, bisa menemukan amplop ketiga ini dengan begitu cepat.

Aku tahu, kau tentu sudah paham dengan arti dari tempat ini kan…?

Benar…di tempat ini kita sama-sama belajar dan tahu jika kita tak bisa jika tak bersama. Aku masih ingat betul tangismu saat itu Love…

(Bibir Aerin mengerucut sebal)

Oh…oh..jangan mengerucutkan bibirmu Baby…atau aku tak akan tahan untuk tidak mengecupnya…

Dan karena kau telah berhasil, aku akan berikan satu lagi huruf untukmu..dan maukah kau sekali lagi mengikuti petunjukku…?

Bersepedalah lagi 10 menit ke selatan dan aku janji, kita akan bertemu disana…
.
.
.
.
.

Aerin memandang huruf yang kini ada di tangannya.

W I L L dan U…

Will U…? Will U apa…? Apa yang Ryeo inginkan darinya..? Will U…oh apakah mungkin…?

Tapi..tidak…tidak…

Aerin menggigit bibirnya, menggeleng kuat-kuat. Apapun itu akan dia ketahui nanti, yang harus dia lakukan sekarang hanya mengikuti semua petunjuk Ryeo.

Kayuh…dan kayuh lagi…sesekali mata Aerin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan jika waktu yang dia gunakan akan tepat 10 menit sesuai petunjuk Ryeo.

Perjalanannya berakhir di Jehwangsan Park.

Oh…jadi, kekasihnya itu mengakhiri perjalanannya di sebuah taman…? Khas Ryeo..romantis sekali.

Aerin menuntun sepedanya, mencari bangku kosong untuk sekedar beristirahat dan menunggu Ryeo.

Gadis itu sibuk menolehkan kepalanya, mencari jika saja dia melihat Ryeo. Helaan nafas itu terdengar ketika matanya tak menangkap adanya kekasihnya itu dimanapun.

Kau dimana..?

Aerin membuka kembali 5 huruf yang dia kumpulkan. Will U… apa Oppa…apa yang kau ingin aku lakukan…?

10 menit berlalu, dan masih tak ada tanda jika Ryeo akan datang. Perasaan khawatir mau tak mau menyelinap di hatinya. Kemana Ryeo..?

Ponsel Ae bergetar pelan. Sebuah pesan gambar, dimana nama kontak kekasihnya sebagai subyek pengirim.

Jari jari Ae menggeser beberapa tombol.

Sebuah potret huruf M besar dengan kepala Ryeo menyembul di tengah-tengah lekuk bentuk huruf.

M…? Huruf selanjutnya adalah huruf M..?

Ae tersenyum simpul memandang kepala kekasihnya yang sedang tersenyum itu. Senyum polos Ryeo nya yang selalu membuat Ae tergila-gila.

Jadi…6 huruf sudah…

W I L L U dan M

Tapi apa…?

Aerin sudah akan membalas pesan itu ketika ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan gambar lagi, dari orang yang sama.

Sedikit antusias gadis itu membuka pesannya. Kali ini gambar sebuah novel. Ae tahu dan hafal benar jika novel itu adalah bacaan favoritnya.

Ryeo memfokuskan kamera pada judul novel itu hingga hanya terbaca huruf A R R Y nya saja.

Tunggu…

W I L L lalu U… M dan A R R Y…?

Will u mar…will u marry…

Oh God… mata bulat Aerin membola. Gadis itu membekap mulutnya dengan telapak tangannya. Astaga… tinggal satu kata lagi jika kalimat itu sesuai dengan apa yang Ae pikirkan, dan kali ini Ae yakin dirinya benar.

Ponsel Ae kembali berdenting dan here we come…

Pesan gambar itu terbuka. Bukan huruf atau tulisan, hanya sebuah foto tampan milik Ryeo.

Mau tak mau Aerin terkekeh pelan, mengabaikan butiran-butiran bening yang kini menuruni pipinya.

Lengkap…semua petunjuk itu kini sudah menjadi petunjuk lengkap, kalimat ‘Will U Marry’ dan foto diri Ryeo yang Ae artikan sebagai kata ‘Me’.

‘Will U Marry Me…?’

Aerin menekan tombol ponselnya, menempelkan benda kotak itu ke telinganya, menunggu sebentar sebelum sambungan itu terjawab.

“Oppa…”

“Morning, Love…”

Deg…

Aerin menjauhkan ponselnya ketika suara sapaan itu terdengar dekat sekali dengan telinganya. Ditambah hembusan nafas hangat dan lengan yang melingkari tubuhnya.

Dengan cepat gadis itu menolehkan kepalanya dan sesuatu yang lembut itu langsung menangkap bibirnya. Bibir Ryeo.

Ciuman itu tak berlangsung lama, tapi cukup untuk menyebarkan panas di seluruh wajah Aerin.

“Oppa…?”

“Yess Love…”

“Jadi ini…”

Ryeo memutar tubuh Ae, pemuda itu mengenggam kedua tangan gadisnya.

“Jadi…kau mau menikah denganku atau tidak…?”

“Atau tidak…?”

“Ku mohon jangan menjawab tidak…” Raut wajah Ryeo terlihat penuh khawatir.

“Kau memintaku menjawab ‘ya’, Oppa..?”

Ryeo berdecak kesal.

“Jawab saja, Sayang…”

“Aku…aku…aku…”

Ryeo mulai bergerak gelisah.

“Aku…tentu saja aku mau, Oppa…!!” Wajah Aerin sudah sama cerahnya dengan mentari pagi.

“Aku tak dengar, Love….”

“Oppa…!!” Aerin memukul pelan dada Ryeo, membuat pemuda itu menenggelamkan gadis itu dalam dekapannya.

“Ya Oppa…aku mau…jadikan aku Nyonya Ryeo, Oppa…miliki aku…”

Dua bibir itu kembali bertemu, kali ini dalam satu kecupan panjang yang akan mampu menyatukan semua.

Ryeo dan Ae tahu, jika ini bukanlah akhir dalam kisah mereka. Ini sebuah awal, sebuah awal indah untuk kisah mereka dalam satuan waktu yang lain.

Dan yeah…awal yang indah tentu akan menghasilkan perjalanan yang indah, bukan…??

****end****

Note:

Zengri kualie Didi n Mei mei ^^

Happy first Anniversaryyy ….bersemangatlah untuk perjalanan indah kalian berikutnyaaa ^^

Sorry for typos n gajeness.. *di tabok rame2

Diubuqi..Jiejie hanya mampu memberi ini sebagai hadiah…*bow..

Long last yaaa *kecup atu atu

Buat semua yg sudah membaca.. TERIMAKASIH BANYAK…!!!!

Paaaaiiii…see ya in another story ^^

–misshan–

Dream….(part.5)

Dream….(part.5)

By. Aechan Kim

Rate : M

Genre: Romance

Cast: HanGeng, LiXu a.k.a Kim Ryeowook n OC

Disclaimer: Im only own the story line… chara isnt mine

~~happy reading~~

Seorang pemuda tampan baru saja melangkah keluar dari bandara Paris. Merapikan jas tebalnya sebelum bergerak mencari taxi. Hufhh…ingin rasanya dia bisa segera sampai di tempatnya istirahat. Lelah karena perjalanan jauh sungguh mendera tubuhnya. Membuatnya ingin segera bergelung dalam buntalan selimut bulu yang nyaman. Dan pria itu berlalu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Menjelang petang Huang Meihui mulai berfikir untuk merevisi keputusan yang di anggapnya gila. Bagaimana tidak gila jika dia dengan tiba-tiba dan tanpa disengaja..oh bukan..yang ini jelas merupakan kesengajaan, menerima ajakan pergi berdua, entah kencan entah jalan-jalan biasa yang jelas hanya berdua, ya ber-dua, dengan pria yang baru saja dikenalnya.

Tapi, jika ingin menyalahkan, lebih baik salahkan rasa penasaran Mei yang sudah di ubun-ubun. Penasaran tentang apapun yang pria itu lakukan. Bagaimana pria itu bisa menebak namanya dalam waktu relatif singkat, juga fakta jika pria itu selalu muncul hampir dimanapun dan kapanpun Meihui berada.

Perempuan muda itu berulang kali, menimbang dan memilih, hingga…yeah…bisa ditebak kan mana yang akan menang, tetap rasa penasarannya. Dia harus memuaskan rasa itu, rasa ingin tahu pada pria yang dengan berani dan tanpa seijinnya mulai bisa membuatnya merasakan rindu.

Rindu…? Apa terlalu aneh jika dia memang sempat merasakan sesuatu yang Meihui asumsikan sebagai rasa rindu. Entahlah…rindu atau bukan dia tak peduli. Saat ini yang Meihui yakini ada dalam hatinya hanya rasa ingin tahu, tak lebih…!

30 menit berlalu dari janji mereka, tapi Meihui masih belum beranjak dari depan cermin. Dia yang tak pernah mengenal kata berdandan lama, kali ini sengaja berlama-lama di depan kaca. Bukan untuk berhias, hanya untuk mengulur waktu.

Pikirannya masih sibuk berperang antara pergi ataukah tidak….

Hingga saat beranjak ke Seine pun Meihui masih tak menemukan alasan kuat apa yang bisa membuatnya beranjak dari tempatnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sudah berapa lama Han berdiri disini…? 30 menit…satu jam atau lebih…? Untuk kali ini dia tak peduli. Baginya, dia bahkan rela berdiri seumur hidupnya hanya untuk menunggu gadis itu. Well..sangat tak terdengar seperti Han yang biasanya kan…? Dan jelas-jelas menggelikan.

Han melipat tangannya di depan dada, memandang Seine yang mengalir tenang. Pantulan bayang wajah seseorang terbias di riak air sungai yang sekelam langit di atas sana.

Wajahnya terlihat tenang, tapi lain yang terjadi didalam sana. Dadanya tak berhenti berdetak cepat sejak dia mengendap kabur dari hotel tadi. Well….adiknya ada disini dan itu artinya akan ada orang tambahan yang siap menginterogasinya selain Sekretaris Cha dan Paman Jang. Dan Han yakin, jika seringai lebar di wajahnya tak akan mampu menipu mereka semua ketika dia berkata jika dia hanya ingin jalan-jalan, dan kabur diam-diam adalah pilihan yang terbaik.
.
.
.
.
.
.

Perempuan itu sibuk mencari sosok yang dia kenali di tepian Seine, berusaha sekeras mungkin menajamkan pandangan matanya. Kemana dia..? Bukankah mereka berjanji bertemu disini..? Atau pria itu sudah pergi karena dia terlambat datang…?

Pencariannya terhenti ketika Meihui melihat pria itu sedang berdiri memunggunginya menatap jauh ke arah Seine.

Berbalut sweater abu-abu dan jeans hitam yang membungkus kaki panjangnya membuat kata ‘Sexy’ tercetak besar dalam otak Mei. Ugh…kata yang hampir membuat Mei membenturkan kepalanya ke pagar pembatas sungai. Ya Tuhan…bisa bisanya dia tak fokus dan berfikiran kotor hanya karena melihat kaki jenjang seorang pria. Ayolah…dia kesini hanya untuk memuaskan rasa penasarannya bukan untuk terpesona pada kaki atau bagian tubuh manapun dari pria itu.

Gadis itu masih sibuk berdebat dengan pikirannya sendiri untuk terus mengamati atau mengabaikan ketampanan Han, ketika tangannya di tarik seseorang.

“Aku pikir kau tak datang….”,orang itu masih terus menarik tangan Mei, membuat gadis itu mau tak mau mengikuti kemana si pria menuntunnya.

“Mei..kau tak apa-apa..?”

“Oh..ya…apa…tidak..tidak…”

Hei…kenapa dia jadi gugup….?

Bisa Meihui lihat jika pria di depannya itu menaikkan sebelah alisnya.

“Kau bilang apa..?”

“Aku pikir kau tak datang…”

“Siapa kau..?”

“Apa maksudmu…?”

“Tsk..kau..dan kehadiranmu selama beberapa hari ini..bagaimana bisa kau selalu muncul dimanapun aku berada..?”

“Namaku Han Geng…kau boleh memanggilku Han jika kau mau…dan yah..tak ada yang perlu kau khawatirkan ataupun hal aneh yang sedang terjadi…anggap saja aku ini jodoh yang dikirimkan Tuhan untukmu…”

Mata bulan sabit Mei melebar.

What the hell are going in here…

Bagaimana bisa pria ini memiliki kadar percaya diri yang berlebihan seperti ini….?

Jodoh dari Tuhan…? Heck…pertemuan mereka saja bisa dihitung jari…

“Kau tak percaya padaku…?”

Han menatap wajah gadis di hadapannya itu yang tetap memasang ekspresi tak terbaca. Jujur saja, hal ini juga membuat Han frustasi. Karena harus menebak-nebak apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu.

“Mari kita bertaruh dan aku yakin aku akan mampu membuatmu percaya…”

Belum sempat Mei mencerna kalimat Han, bahkan daun maple yang jatuh itu belum sempat menyentuh tanah, tapi sesuatu yang hangat, lembab dan basah itu sudah menyentuh bibir Meihui. Bukan kecupan, hanya satu sentuhan dari bibir ke bibir.

Deg…deg…

Detak tak teratur itu kembali menggema dalam diri Mei. Denting kehidupan yang telah lama tak terusik di dadanya kini terbangun. Bukan rasa bahagia hanya penuh tanya ketika desir aneh itu mulai kembali merayapi relung kalbunya.

‘Kenapa….? Apa ini Tuhan…? Dia hanya menyentuhku seperti ini dan kaki ku langsung berubah menjadi agar-agar…?’

Tak jauh berbeda dengan Mei, Han pun merasakan hal yang sama. Hanya satu sentuhan dan dia merasakan dadanya pecah karena debur gemuruh yang meronta di dalam sana. Desir gairah yang tak pernah dia alami secara nyata kini menyapu dirinya.

Ya Tuhan….

Sentuhan tiba-tiba itu membuat tubuh Mei nyaris terjerembab jika Han tak melingkarkan lengannya ke pinggang gadis itu, menahan agar tubuh Mei tak menyentuh tanah.

PPPLLAAAKKK…!!!!!!

Tamparan itu menggema kesemua sudut Seine yang sepi.

“Kau..!!!” Mei mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Han yang memerah karena tamparannya. Sakit yang sama dengan yang dirasakan tangan Meihui.

“Berani…beraninya kau…”, gadis itu berusaha mengucapkan kata-katanya dengan nafas tersengal dan mata menyipit menahan emosi.

Gadis itu berbalik, melangkah pergi secepat yang dia bisa.

Pria sialan… jika tahu akan seperti ini, Mei tak akan pernah menerima ajakannya.

“Jangan menangis Mei…atau dia akan melecehkanmu lagi…”, gadis itu masih berusaha mensugesti dirinya sendiri, menahan tangis yang ingin mengalir ke ujung mata.

Kali ini langkah nya kembali terhenti. Bukan hanya karena tarikan di lengan tapi karena dekapan erat yang melingkari dadanya.

“Ku mohon dengarkan aku…”

“Lepaskan aku..”, desis Mei.

“Tolong Mei…”

“Lepaskan aku…!!!” Gadis itu meronta, berusaha melepaskan lengan yang masih memeluk tubuhnya.

“Dengar…kau boleh memukul dan menamparku, atau apapun itu…kau boleh melakukan apa saja Mei…apa saja..tapi jangan pergi dariku…”

Rontaan itu terhenti ketika Han selesai mengucapkan kalimatnya. Mei terdiam, sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Posisinya dengan punggung yang menempel di dada Han membuatnya bisa merasakan detak jantung pria itu.

Detak yang semula tenang itu mulai menggila hingga perlahan berangsur tenang kembali ketika Han semakin erat mendekapnya.

‘Begitu besarnyakah pengaruh dirinya bagi pria ini, hingga mampu mempermainkan desir di tubuh Han…?’

“Ku mohon jangan pergi dariku…atau memintaku pergi darimu…karena aku dengan keras kepala akan datang padamu lagi..dan lagi….”

“Kenapa…?”

Ya..kenapa..? Hanya itu pertanyaan yang sanggup di keluarkan bibir Mei.

“Karena kau sudah membawa hatiku sejak bertahun-tahun lalu..”

Bertahun-tahun..? Apa pria ini gila…? Bertahun apanya…mereka bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu.

Gadis itu masih membisu, membiarkan saja posisi tubuh mereka tetap seperti ini, dengan dirinya tetap dalam dekap hangat Han.

Kenapa Tuhan…? Kenapa ini justru membuatnya merasa nyaman, terlindungi dan rasa hangat yang tak pernah lagi dia rasakan sejak kepergian orang itu. Pria yang membawa hatinya ketempat yang tak lagi bisa dia kunjungi.

Kenapa Tuhan..? Apa Tuhan mengembalikan hatinya…?

Han masih memeluk gadis itu. Tak ingin melepaskannya lagi. Biar saja dan dia tak akan peduli jika Meihui akan menertawakannya. Han tak lagi mau peduli. Yang dia katakan jujur, murni dan tulus dari hatinya. Dia memang benar-benar mencintai gadis itu.

Dua insan itu masih berdekapan, ah bukan…salah satu mendekap yang lain. Si gadis memejamkan mata, pasrah pada rasa nyaman yang tiba-tiba membuatnya sadar seberapa lelahnya dia. Meihui ingin beristirahat. Sejenak saja. Pria itu tetap melingkarkan lengannya. Seolah bersedia berbagi apapun dengan gadis dalam pelukannya itu.  Entah sadar atau tidak, 2 pasang kaki itu mulai bergerak perlahan, berdansa dalam diam. Dengan iringan musik angin musim gugur Paris yang berbisik romantis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hari masih pagi, tapi Han sudah sibuk mengetuk pintu kamar adiknya. Bukan mengetuk, memukul lebih tepatnya, karena jika saja hotel ini tak memiliki standar peredaman yang bagus untuk setiap kamar, maka bisa dipastikan semua penghuni lantai 15 akan menyumpahinya.

Sekali, dua kali, hingga kesekian kali, pintu itu tetap tak bergeming, membuat pria itu memutuskan menelepon staf hotel untuk meminta kunci cadangan.

Yeah…bagaimanapun juga dia tetap saja khawatir…andai saja terjadi sesuatu pada adiknya. Oh tidak…dunia pasti tak akan seru lagi tanpa sikecil yang selalu mengerecokinya itu.

Tarikan nafas lega Han langsung terdengar begitu melihat jika adik kecilnya itu masih bergelung dalam selimut tebalnya.

Pria itu mematikan pemanas ruangan untuk kemudian beranjak ke tepi ranjang, mengacak pelan surai hitam Aerin.

Ahh..kenapa tiba-tiba dia begitu merindukan celoteh riang saudaranya ini..? Sejak kemarin Aerin tak banyak bicara, entah apa sebabnya, mungkin masih merajuk pada ejekan Han ketika di Crescent Moon kemarin.

Gadis kecilnya tak banyak berubah. Masih tetap manja, manis dan cerewet seperti biasa. Mungkin dia harus sering-sering meluangkan waktu untuk Aerin, tanpa ada beban, tanpa ada embel-embel apapun, hanya mereka seperti saat mereka kanak-kanak dulu.

Sekali lagi Han mengusap kepala Aerin. Meletakkan semangkuk bubur panas yang ada di tangannya dan bergegas melangkah keluar. Dia tak mau mengambil resiko Aerin bangun dan menemukannya disini.

Well..menunjukkan perhatian terang-terangan sangat bukan type Han.

Mungkin dia bisa kabur lagi sebentar ke Crescent Moon setelah tadi pagi sukses mengganggu gadis itu untuk membuatkannya bubur. Tak ada salahnya mengerecoki Meihui sekali lagi. Ugh…dia suka sekali ketika gadis itu melemparkan tatapan tajam disertai rona malu-malu. Oh…tidak…membayangkannya saja membuat celananya kembali sesak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Gadis cantik itu membuka matanya, menguap sebentar dan mengerutkan kening ketika menyadari ada yang berubah dalam ruangannya. Siapa yang mematikan pemanasnya….? Seingatnya semalam dia menyalakannya.

Baru saja dia ingin turun dari ranjang ketika matanya menangkap semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap hangat dan secarik kertas.

‘Makan..habiskan dan aku ada urusan..’

Aerin mendengus, pesan yang sangat singkat. Teramat singkat khas kakaknya. Tanpa banyak basa basi. Kadang Ae sendiri heran, bagaimana pria itu bisa hidup tanpa banyak suara.

Aerin mengambil bubur itu, harum aroma rempah-rempah langsung menyapa indra penciumannya. Enak…!! Dalam sekejap tandas tak tersisa.

Mata bulat Aerin kembali mencermati tulisan kakaknya.

Aku ada urusan..!!

Well…itu artinya jika Han tak akan bisa diganggu. Walau Aerin berteriak dihadapan pria itu pun, Han tak akan membatalkan urusannya.

Aerin tak mau tahu urusan apa, mungkin yang berhubungan dengan perusahaan atau mungkin juga satu hal yang berkaitan dengan gadis pelayan yang kemarin. Sial…karena terlalu sibuk merajuk Ae sampai lupa untuk menggoda kakaknya tentang gadis pelayan resto kemarin.

Merasa tak mau mati bosan jika dia harus terkurung seharian dikamar, Aerin bergegas membersihkan diri. Tak ada salahnya dia berjalan-jalan sebentar ke Eiffel. Siapa tahu akan ada kejutan untuknya…
.
.
.
.
.
.

Langkah-langkah kaki Ae berjalan ceria di taman Eiffel. Mata bulatnya sibuk menatap icon Perancis itu dengan tatapan ala bocah 5 tahun yang membiaskan binar cantik diwajahnya.

Gadis itu berdiri diam di bawah Eiffel. Menengadah ke arah puncak menara yang tampak kecil. Bibirnya mengulas senyum lembut sebelum mengucapkan sebaris kata.

“Tuhan…bolehkah aku meminta..? Dulu saat kami masih kanak-kanak, Kakak pernah berkata jika suatu saat dia akan menemukan pangeran tampan untuk Ae…dan kini kami ada disini, bisakah Kau ijinkan aku bertemu pangeranku sekarang…?”

Aerin tak tahu kenapa dia mengucapkan doa seperti itu. Hanya saja debar debar halus yang ada di hatinya kini membuatnya penuh gairah. Senyum kembali terulas di bibirnya ketika gadis itu berbalik hendak meneruskan langkah.

Dan saat itulah sepasang kristal bening itu tertangkap matanya. Manik jernih milik seorang pemuda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Terpaku mengunci pandangan Aerin.

Tampan…!!!

Komunikasi tanpa suara itu terjadi sepersekian menit, namun cukup untuk mengungkapkan semua rasa yang mungkin mulai ada.

Aerin yang pulih terlebih dahulu dari keterkejutannya memutuskan kontak mata mereka, tersenyum simpul dan menganggukkan kepala. Berlalu sambil tetap mengulas senyum. Pemuda tadi, siapakah…? Pangerannya kah..? Atau…?
.
.
.
.
.
.
.

Li Xu masih membeku di tempatnya berdiri. Sesekali menatap punggung gadis yang baru saja melintasinya, dan beralih pada pucuk menara Eiffel.

Li Xu sedang menikmati jalan-jalan paginya ketika tanpa sengaja telinganya menangkap sebaris kalimat yang di ucapkan gadis itu. Permohonan aneh yang membuat LiXu menghentikan langkahnya.

Gadis yang cantik….dan debar halus di dadanya itu saat pandangan mereka bertemu tadi..rasa apa itu….?

Li Xu tersenyum tulus. Dia tahu, ini bukan pertemuan terakhir mereka. Entah bagaimana Li Xu memiliki firasat jika mereka akan terlibat satu kisah rumit dan manis..dan Li Xu akan dengan senang hati menunggu saat itu tiba.

So… I will wait to meet you again, Princess….

*****tbc*****

Note:

Ni haaoooo…

Part.5 nya semuaaa…

Buat the real authornim KIM AECHAN.. so much thankyou…*kecup kanan kiri

Dan buat semua yang mau berkunjung dan membaca… TERIMAKASIH BANYAKK….!!!!!

See u in other post..

Paaaiiiii….

–misshan–

Dream….(part.4)

Dream…..(part.4)

By. Aechan Kim

Rate: M

Cast: HanGeng, Kim Ryeowook a.k.a Li Xu n Oc

Genre: Romance

Disclaimer: Im only own the storyline, chara isnt mine

~~happy reading~~

Lagi dan lagi, hingga sekretaris Cha sendiri lupa untuk yang keberapa kalinya, dirinya di buat pusing dengan ulah Boss nya itu. Ya Tuhan…orang itu akan sangat tampan jika mau bersikap manis dan penurut, bukannya bertingkah seperti bocah TK yang akan demam tinggi jika keinginannya tak dituruti.

Kali ini yang menjadi penyebab denyut kepala Sekretaris Cha adalah keinginan Han untuk memperpanjang jadwal mereka di Paris, bahkan jika mungkin, pria itu ingin semua urusan perusahaan di pindahkan ke Paris saat itu juga.

What the….

Sekretaris Cha hanya bisa memandang kosong jadwal yang sudah dia susun rapi, harus merombaknya sebagian, bukan sebagian tapi banyak bagian..oh..semuanya kalau seperti itu.

Paman Jang hanya mampu menepuk nepuk bahunya dengan penuh kasih. Oh astaga…sebenarnya apa yang membuatnya mau bertahan….jika bukan karena mata polos gadis itu…

Ah…lebih baik tak membahasnya sekarang…

Yang harus dia lakukan hanya satu, merombak semua jadwal itu atau yeah…nasibnya akan berakhir jika dia berani menolak. Bukan pilihan yang mudah…

Beruntung bagi Sekretaris Cha, setidaknya dia bisa bekerja dengan tenang karena bayi besar itu sudah menghilang entah kemana. Lagi…? Hal ini juga membuat Sekretaris Cha pusing karena Han mengabaikan fakta jika dirinya adalah orang paling penting bagi karyawan GG Mall di seluruh dunia.

Kemana perginya Han Geng..? Oh…bukankah sudah jelas, hanya satu jawaban, Crescent Moon. Bukannya pihak hotel tak menyediakan sarapan atau apa, hanya saja..yah..alasan konyol yang dinamakan jatuh cinta.

Pria itu duduk diam dalam mobil putihnya, mengamati setiap detail resto kecil itu. Belum buka, tentu saja, ini masih pukul 7 pagi.

Oh…lagi-lagi dewi keberuntungan berpihak padanya, ketika yang dia harapkan muncul, kali ini dengan berbagai macam barang yang membuatnya cukup sibuk.

Mungkin ini saatnya dia mencoba sok pahlawan.

“Biar ku bantu…”

Gadis itu sedikit tersentak ketika Han tiba-tiba menahan salah satu lengannya yang membawa kantung belanja. Well..siapa yang tak akan kaget jika tiba-tiba muncul seseorang yang memegang belanjaanmu.

“Thanks…” gadis itu hanya menjawab singkat. Singkat yang begitu membuat Han gemas. Tak bisakah dia mengucapkan kalimat lebih panjang…?

“Letakkan saja semuanya disana….Emily akan membereskannya nanti….Terimakasih banyak…”, gadis itu menunjuk sudut ruang, mengucapkan kalimatnya dalam bahasa Inggris dengan logat oriental yang terdengar aneh. Tak lupa membungkukkan badannya sedikit dan berniat berlalu.

Oh ya ampun…apa gadis itu tak sedikitpun melihat ada pria tampan macam Han disini… Han menyumpah nyumpah dalam hati.

“Tunggu….”

Gadis itu berhenti.

“Kau orang Asia…?”

“Apa itu penting…?”

“Maksudku…”

“Bukankah kau bisa melihat sendiri jika kau pintar, apa persamaan kita…”

Skak mat. Gadis ini…berbeda..bukan seperti gadis lain yang dengan senang hati akan melompat ke pangkuannya bahkan sebelum Han sempat menanyakan nama mereka. Jangankan melompat, meliriknya saja tidak…

“Tunggu….” lagi-lagi Han menahan lengannya, membuat gadis itu kembali memasang wajah datar.

“Bisakah aku memesan semangkuk bubur…. aku belum sarapan…aku bukannya ingin balas budimu..tapi aku benar-benar lapar….”

Bagus Han..bagus…caramu merayu sungguh tak terdengar seperti kau yang biasanya…memalukan.

Gadis itu menatapnya sebentar, seolah menilai apa maksud sebenarnya dari Han. Beberapa detik yang menyiksa, hingga si gadis mengangguk dan mempersilahkan Han duduk.

Pria itu menunggu dalam diam, bersikap semanis mungkin yang bagi siapapun yang mengenal Han akan melihat dia layaknya bocah imut yang menunggu ibunya menghidangkan sarapan. Han bertaruh jika orang-orang itu akan menertawakannya sekeras yang mereka bisa.

Gadis itu kembali dengan semangkuk bubur yang menguarkan uap harum rempah-rempah, dengan segelas teh hangat.

“Tunggu…”

“Kenapa kau suka sekali menahan langkahku..?”

“Karena aku ingin kau tetap disisiku….”, gumam Han.

“Apa…?!!?”

“Oh..anu..itu..eh..maaf…aku….” gadis itu mengangkat sebelah alisnya, berbalik meninggalkan Han yang masih sibuk menyumpahi dirinya sendiri dan menghilangkan kegugupannya.

“Bisakah aku tahu namamu….?”

Gadis itu berhenti.

“Selesaikan makananmu…bubur tidak enak jika dimakan dingin….”, jawab si gadis tanpa membalikkan badan.

Jawaban yang sungguh menyiksa bagi Han.

Apa…atau bagaimana….apa dia akan di beritahu atau apa…

Aaaaarrggghh…gadis itu benar-benar membuatnya gila.

Pria itu buru-buru menghabiskan makanannya, mengabaikan jika bubur itu masih sangat panas, juga mengabaikan teman si gadis yang terang-terangan bertanya tentang siapa dirinya, yang di jawab gadis itu dengan jawaban singkat, angkat bahu.

Han menyesap tehnya, yang baru dia sadari jika ini teh tawar. Bagaimana gadis itu tahu dia suka teh tawar…? Apa dia mengingat pesanan Han kemarin atau….

Ya Tuhan…ya Tuhan…kenapa pria tampan seperti dirinya bisa bertingkah layaknya remaja belasan yang jatuh cinta…?

Saat Han berniat membayar pun gadis itu tetap tak menunjukkan tanda apapun, membuat mulutnya gatal untuk bertanya. Tapi, dia sudah bertanya sekali dan….ah…sudahlah….

Gadis itu menyerahkan bukti pembayaran sekaligus sebuah sapu tangan merah.

“Kau akan menemukan jawabannya disana…”

Han menerima saputangan itu dengan penuh antusias. Membuka sebentar lipatan bagian dalam dan mengembalikannya lagi pada gadis itu.  Kali ini giliran si gadis yang mengernyitkan dahi bingung.

“Terimakasih banyak Huang Meihui…”

Senyum itu terkunci bersama tatapan mata yang bertemu, satu penuh lega dan harap, yang lain dengan tanya dan tak percaya.

“Senang bertemu denganmu, Nona Huang…” Han mengucapkan kalimat itu pelan sebelum melangkah pergi, tanpa tahu jika dia baru saja membuat seorang gadis terpaku.

“Siapa dia..? Bagaimana bisa dia mencari namaku secepat itu…? Dulu hanya Feng gege yang berhasil melakukannya dan kini…siapa dia…?”

Mei masih menatap punggung pria itu hingga dia menghilang dari pandangan.

“Siapa…?”

Dunno, Emily…”

“Sepertinya dia menyukaimu, Mei…”

“What…??!? Oh..shut up Emy…”

Emily tertawa tanpa sungkan. Meninggalkan Mei yang masih sibuk mengira-ngira.

Menyukainya..? Pria itu…? Tidak mungkin…..!!!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hari selanjutnya setelah pertemuan yang entah disengaja entah tidak dengan pria itu, kali ini Meihui sama sekali tak bisa konsentrasi dalam bekerja. Buru-buru menoleh hingga lehernya sakit ketika pintu berdenting terbuka dan mendesah kecewa ketika bukan orang yang dia maksud yang muncul kehadapannya.

Kecewa..? Tunggu…kenapa Meihui harus kecewa…? Bukankah dia selalu mengabaikannya jika pria itu muncul. Lalu, kenapa sekarang dia kecewa…?

Tapi…kenapa juga perasaannya akan jauh lebih tenang ketika pria itu datang…?

Emily yang sedari tadi mengamati tingkah sahabatnya itu diam-diam mengulas seringai aneh.

‘Kau bodoh Meihui…terlalu sendiri membuatmu tak peka untuk menyadari sesuatu…’
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Bisakah kau membiarkan hidupku tenang…..”

/”Oh..aku merindukanmu juga Kak…”/

Han mendesah kesal ketika suara di seberang tetap menjawab dengan penuh ceria tak terpengaruh nadanya yang siap menguliti. Pria itu masih menempelkan benda kotak itu ketelinganya.

“Aku tidak…”

/”Aku tak peduli Kakak ku sayang…..”/

Suara di seberang masih saja riang, bahkan sedikit dibumbui dengan tawa geli.

“Apa maumu, Princess….?”

/”Aku dengar kau di Paris…jadi..jemput aku dibandara, okay…?”/

“What…yakk..jangan seenak dirimu…”

/”Baiklah Kak…aku mencintaimu juga…”/

“Yaakk… Ae…damn….”

Pria itu mengumpat pada ponselnya yang telah terputus. Gadis mungil itu…tak bisakah dia membiarkan hidupnya damai.

Hell…ternyata kesialannya bukan hanya kali ini saja. Umpatan-umpatan dari mulut manis Han makin parah ketika Tuan Zhao mengajaknya kepesta miliknya.

God…bagaimana dia bisa menemui Huang Mei lagi…?
.
.
.
.
.
.
.
.

“Kakak…aku merindukanmu…oh ya ampun…tak kusangka kau menjemputku sendiri…aku pikir kau akan menyuruh Sekretaris Cha untuk hhhhmmmpptt….”

Kalimat gadis itu terputus begitu telapak tangan besar membungkam mulutnya. Tangan kecilnya menggapai-gapai berusaha melepaskan diri dari bekapan si pemilik tangan besar.

“Hah…Ka…Kak…Kakak…Hah…kau mau membunuhku ya…kau rela kehilangan adik yang teramat cantik sepertiku…kau tega….”

“Tutup mulut atau ku bungkam lagi…”

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, kenapa sih..saudaranya ini selalu memasang tampang sok serius seperti ini…? Pria ini akan jauh lebih tampan jika dia mau tersenyum dan bersikap lebih lembut.

“Bagaimana kabarmu, Princess….?”

Mata bulat itu membola.

“Huwaa..Kakak…kau masih memanggilku Princess…huwaa..aku menyukainya..aku mencintaimu…kau memang yang terbaik….”

Han meringis, berusaha melepaskan lengan adiknya yang sedang memeluk lehernya sambil melompat riang itu.

Astagaa..belum apa-apa dia sudah merasa begitu lelah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Han Aerin sedang berusaha mengikuti langkah kakaknya yang berjalan di depannya. Sesekali menggerutu ketika sudah berlari kecilpun dia belum bisa menyamai langkah pria itu.

“Bisakah kau pelan-pelan Kak…?”

“Kau saja yang lambat…”

Walau berkata seperti itu, nyatanya Han tetap berhenti sebentar, menunggu adiknya yang tengah mendelik kesal.

“Kita mau kemana…..makanannya benar-benar enak kan Kak…?”

“…tumben Kakak tahu ada restoran bagus…biasanya kan kau tak pernah mau repot-repot berjalan sendiri…Kak…Kakak…yak…jangan mengabaikanku….Kakak…..”

Aerin kembali bersungut-sungut kesal, mengikuti langkah kakaknya yang jauh meninggalkannya. Saudaranya yang ini memang selalu tak banyak bicara. Tapi Aerin tahu jika kakaknya menyayangi lebih dari apapun.
.
.
.
.
.
.
.
.

Crescent Moon tampak ramai, wajar karena ini jam makan siang. Beruntung dua orang itu masih bisa mendapatkan tempat walau di sudut ruangan.

Sementara adiknya tengah memelototi menu dengan semangat, Han justru sibuk mengedarkan pandangan kesekeliling, karena bukan Mei yang menanyakan pesanannya.

Kemana gadis itu…? Bagaimana dia bisa makan dengan tenang jika dia tak melihat gadis itu sebentar saja…?

Han mengernyitkan dahi, hampir memukul kepalanya sendiri ketika pikiran itu terlintas dalam otaknya. Astagaa….bukankah kemarin dia baru saja bertemu dengan gadis itu, lalu kenapa saat ini dia justru sudah sangat merindukannya…?

Mungkin Tuhan memang terlalu menyayangi Han, nyatanya Dia mengabulkan harapan Han saat itu juga.

Meihui sendiri yang mengantarkan pesanan mereka. Membuat mata tipis Han tak lepas menatap gadis di hadapannya itu. Andai saja dia bisa, Han pasti sudah menarik perempuan itu untuk duduk di pangkuannya, memintanya menyuapkan makanan, agar dia bisa menenggelamkan kepalanya, mencuri kesempatan menandai leher mulus itu.

Sial…! Baru membayangkannya saja sudah membuatnya gerah dan terasa sesak di bawah sana.

Han terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga tak sadar jika Aerin tengah mengamati dirinya dan gadis pelayan itu diam-diam.

Aerin, dengan tatapan penuh tanya, memandang dua orang itu bergantian. Kakaknya yang merona merah tipis di pipi itu, juga si gadis pelayan yang tak menunjukkan tanda apapun jika dia mengenal Aerin atau kakaknya. Sebuah pemahaman muncul di otaknya. Gadis cantik itu menyeringai tipis.

Well..akan ada bahan godaan menarik untuk kakaknya…
.
.
.
.
.
.

“Bukankah sudah ku katakan jika kita akan bertemu lagi Nona Huang..itu benar kan…?”

Meihui menatap pria di depannya itu dengan wajah datar, mencoba menyembunyikan fakta jika dia sebenarnya lega bisa bertemu kembali dengan pria ini. Lega..? Tapi, kenapa harus lega…?

Tatapannya beralih pada gadis mungil yang sedang menggandeng lengan Han. Oh..jadi..dia bersama seorang gadis dan masih berusaha merayuku…..berani sekali…

Han mengikuti arah pandangan Meihui, buru-buru berkata agar gadis itu tak salah paham.

“Dia adikku…”

“Aku tak tanya…”

Kali ini bukan hanya Han yang terpana. Aerin juga. Tawa gadis itu bahkan hampir meledak.

Baru kali ini ada perempuan yang sanggup mengacuhkan pesona kakaknya. Biasanya dia yang harus repot membereskan para penggemar Han. Well..gadis yang menarik…!!

“Aku hanya menjelaskan….” Han menggaruk tengkuknya yang tak terlalu gatal. Sedikit salah tingkah. Perempuan ini tak hanya dalam mimpi, tapi jauh lebih menggemaskan dalam hidup nyata.

Oh ayolah..apa gadis ini akan tetap dingin ketika Han membuatnya menyerah dalam satu pergumulan seru di ranjang.

Cukup..!! Menjauhlah otak mesum….

“Bagaimana kau bisa tahu namaku…?”

Han terdiam sebentar, memastikan jika Mei benar-benar bertanya padanya.

“Sejak kecil aku terbiasa membaca tulisan tangan adikku yang mirip morse…”, ucap Han polos yang membuat Aerin menggerutu kesal dan pergi sambil menghentakkan kaki.

Meihui terkekeh pelan, yang membuat Han kembali mengingat jika dia sudah memakai celana dengan ukuran benar yang dan entah kenapa jadi begitu sesak. Ya Tuhan..gadis ini bahkan mampu membuatnya bangun hanya dengan suara tawanya.

“Jadi..? Apa aku bisa mengajakmu pergi…? Ke Eiffel mungkin..?

Meihui terdiam kembali. Pria ini mengajaknya pergi…? Jalan-jalan…? Atau kencan…? Tapi….

“Aku pikir tak masalah Tuan…”

“Panggil aku Han, Meihui-ya…dan akan aku tunggu…”, pria itu berbisik tepat di telinga Mei, menebarkan nafas hangat yang entah kenapa bisa membuat tubuh Huang Meihui bergetar setelah sekian lama.

Kenapa…? Tidak…ini tidak boleh…ini tidak benar….

****tbc****

Note:

Ni haoo…..

Lagi-lagi saya kembali…. *tak ada yg nanya..

Part.4 nya semua…. apa cukup panjang..? Well….lumayan tuing-tuing(?) untuk aku yg berkacamata… tapi aku harap cukup memuaskan yaaa… *tebar confetti

Anyway… buat semua yg sudah mau berkunjung dan membaca.. TERIMAKASIH BANYAAAAAAKKKKK….!!!! *special pake cepslock loh…

Bagi yg mau kenalan sama saya..*jika ada plaakkk…

Bisa di
fb : Ellena Severus
Tweet: @EllenaHannie
Ig: @ellena_han

DAN BUAT AUTHOR NIM YANG ASLI a.k.a AECHAN KIM…..TERIMAKASIH SUDAH MAU MENULISKAN THIS GORGEOUS STORY UNTUKKU….*kecup sayang

And last…ppaaaaaaaaiiiiiiiiii….

—misshan—

Dream….(part.3)

Dream…..(part.3)

By. Aechan Kim

Rate: M

Genre: Romance

Cast: HanGeng, Li Xu a.k.a Ryeowook, n OC

Disclaimer:  I just own the plot, chara isn’t mine

~happyreading~

Pagi yang begitu menenangkan. Suara-suara bising yang ada disekelilingnya sudah tak terdengar ketika Huang Meihui sedang berkonsentrasi menikmati indahnya musim gugur Paris. Angannya hanya tertuju pada dirinya dan kota romantis ini.

Gadis itu berhenti sejenak, memungut daun maple merah yang berserakan di tanah. Senyum lembut terulas di bibirnya. Tangannya menggenggam daun merah itu, melanjutkan langkah menuju sungai Seine.

Meihui menghempaskan tubuhnya di salah satu bangku taman, menatap Seine yang berkilau terkena mentari pagi. Dia selalu suka, suka ketika semua berjalan sesuai angannya.

Hanya dia dan dunianya. Jemarinya menuliskan sesuatu di daun merah yang dia bawa.

Mungkin harapan? Atau mungkin sebuah kutipan…? Tak ada yang tahu…biarkan saja gadis itu dengan hayalannya.
.
.
.
.
.
.

Love is when she gives you a piece of your soul, that you never know, was missing.

–Torquoto Tasso–
.
.
.
.
.
.
.

Bagaimana kabar Han…? Oh…dia baik..amat sangat baik. Dia bahkan bertingkah seperti anak kecil yang terlalu banyak makan permen.

Pria tampan itu, kini sedang menikmati keindahan tiada tara, itu menurut pendapatnya.

Mengambil tempat yang sedikit tersembunyi, namun tak mengurangi pandangannya. Memorynya terus merekam setiap detail pemandangan itu dalam otaknya.

Siapa yang menyangka jika firasatnya benar…? Tak sia-sia berbagai macam kegilaan yang dia lakukan di pagi ini. Mulai bangun lebih dulu dari pada matahari, bagi Han yang tak pernah bangun sebelum jam 9, hal ini tentu satu kegilaan. Lalu menggedor pintu kamar sekretaris Cha hanya untuk bertanya apa penampilannya sudah cukup tampan, yang membuat sekretarisnya itu sampai harus memukul dirinya sendiri untuk memastikan dia tak salah dengar.

Lalu berjalan riang ke Sungai Seine duduk menunggu beberapa jam. Yang benar saja, dia bahkan sudah duduk diam sebelum Seine tersaput cahaya. Untungnya, sebelum dia nyaris beku karena terlalu lama berdiam diri, yang di tunggunya muncul juga.

Siapa?  Tentu saja gadis kemarin. Gadis yang semalam dia harap datang dalam mimpinya tapi ternyata justru dia tak dapat memejamkan mata.

Han sendiri tak tahu kenapa dia jadi senang menghujani seseorang dengan begitu banyak pujian.

Apa ada yang salah dengan dirinya…? Kenapa dia begitu suka menatap ekspresi dari wajah gadis itu…? Padahal namanya saja dia tak tahu.

Ya..ya…semudah itukah cinta menyapa dingin hatinya….?
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Gadis cantik itu beranjak dari duduknya, melangkah pergi. Tak ingin ketinggalan atau melewatkan kesempatan apapun, Han melakukan hal senada.

Mengikuti setiap langkah yang diambil gadis itu. Walau tetap menjaga jarak aman. Berusaha konsentrasi dengan langkahnya sendiri, karena matanya tak lepas dari gerakan si gadis yang jauh di depannya.

Melompat ke dalam bus yang sama. Sengaja memilih berdiri begitu dekat, hanya untuk mengamati wajah ayu itu dengan lebih jelas.

Tak sedetikpun mata tipisnya melewatkan detail yang dia inginkan. Buru-buru mengalihkan pandangan dan membuat ekspresi seolah-olah sedang menikmati pemandangan ketika gadis itu memergokinya sedang menatapnya intens.

Huang Mei yang merasa diamati kembali mengernyitkan dahi. Pria ini. Bukankah dia pria yang kemarin…? Kebetulankah…? Atau…?

Gadis itu mencoba mengabaikan, kembali fokus pada tujuannya. Bersiap melompat turun ketika bus yang di tumpanginya berhenti di halte tujuan. Gadis itu berjalan sebentar dan menghilang ke dalam sebuah restoran kecil.

Lagi-lagi hal melakukan hal yang sama. Mengikuti setiap gerakan gadis itu. Namun sayang, langkahnya harus terhenti ketika dia melihat gadis itu menghilang di balik pintu sebuah restoran kecil. Crescent Moon, begitu plakat merah emas yang ada di atas pintu rumah makan itu.

Well.. apa lagi yang bisa dia lakukan jika sudah seperti ini? Menerobos masuk pun tentu tak mungkin. Restoran itu belum buka, salah-salah dia bisa dituduh pencuri atau apa. Menunggu di luar pun sepertinya mustahil. Bayangkan kau harus berdiri diluar ditengah cuaca musim gugur yang tak menentu sampai waktu yang tak ditentukan pula. Bisa kalian bayangkan….?

Yeah…dan tak mungkin kan pria tampan seperti dirinya akan melakukan hal itu. Oh…bukan berlebihan, hanya menyampaikan fakta.

Dering ponselnya membuat Han sedikit tersentak. Mengumpat pelan begitu dia melihat caller id si pemanggil.

“Kau lupa pesanku…!!”

/”Boss..tapi..ada hal penting yang harus Anda hadiri….ini tentang perusahaan…”/

Hening.

/”Boss…”/ suara lirih di seberang kembali terdengar.

Han mengusap wajahnya frustasi. Kembali mengeluarkan umpatan yang jika didengar Ibunya akan membuat Ibunya mencuci mulut Han dengan pemutih.

“Baik…baik…jemput aku…Seine…15 menit lagi…!”

Han menatap restoran itu dengan tatapan tak terbaca, sebelum menghela nafas panjang dan melangkah pergi. Tanpa tahu ada sepasang mata lain yang mengamati langkahnya dari balik kaca.

‘Mungkin memang belum saatnya…’
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Yang disebut hal penting menyangkut perusahaan ternyata tak sepenuhnya penting. Hal ini tentu saja benar-benar mmbuat Han ingin mencekik sekretaris Cha.

Aura gelap yang menguar dari dirinya bahkan mampu mempengaruhi atmosfer seluruh ruangan. Membuat pembicaraan mengenai penjelasan ulang kontrak kerjasama dengan pihak penyewa toko, menjadi dipercepat. Siapapun, termasuk Tuan Zhao masih ingin kembali hidup-hidup.

Pria itu segera melesat meninggalkan ruang pertemuan bahkan sebelum pembicaraan resmi ditutup. Untuk kesekian kali Sekretaris Cha dan Paman Jang yang harus membereskan kekacauan yang dibuat Han.

Aston martin putih itu kembali meluncur cepat di jalan raya. Han sendiri yang mengemudikannya, menekan pedal gas sedalam yang dia inginkan.

Pria itu menghela nafas lega ketika melihat tanda buka di pintu Crescent Moon. Dengan penuh percaya diri, Han melangkah masuk. Menyamankan tubuhnya di sudut ruangan. Mendesah kecewa ketika bukan gadis yang dia tuju yang menanyakan pesanannya. Dan hampir berteriak seperti orang gila ketika suara itu menyapa telinganya.

“Maaf..membuat Anda menunggu lama…”

Han terkesiap. Mata sipitnya nyaris tak berkedip ketika menatap sosok cantik yang sedang menata pesanannya.

Gadis itu, gadis Asia, bermata bulan sabit dengan surai hitam sebahu. Mengenakan seragam pegawai resto yang kontras dengan dekorasi ruangan serba merah dan emas. Khas oriental, suasana nyaman yang mengingatkan dia akan rumah.

“Xie..eum….thanks..maksudku…”

Gadis itu memiringkan kepalanya, tersenyum simpul menatap Han.

“Pu ke ci, Zhu…”

Ya Tuhan..bahkan suara itu terdengar berkali lipat lebih merdu daripada tawanya.

Gadis itu berlalu, menyadarkan Han jika lagi-lagi karena ulahnya yang memalukan karena kehilangan suara di depan gadis itu membuat kesempatannya terbuang percuma.

‘Semesta..sepertinya…aku benar-benar jatuh cinta…’
.
.
.
.
.
.
.

Sebuah taman cantik di sekitar Eiffel. Han mengedarkan pandangannya, hingga sorot teduhnya melihat seseorang. Berdiri anggun dengan kedua tangan di belakang punggung. Menengadah menatap Eiffel, membiarkan rambut sebahunya dipermainkan angin.

Daun-daun musim gugur yang menguning berjatuhan di sekitarnya. Seolah mengajak si gadis berdansa. Han seperti baru saja dilemparkan dalam dunia lain yang indah sekaligus romantis.

Ragu-ragu, pria itu melangkah mendekat, mencoba menyentuh bahu gadis itu. Memejamkan mata sebentar, takut jika gadis itu akan lenyap ketika ia menyentuhnya.

Han bernafas lega ketika tangannya tetap memegang sosok nyata. Ketakutannya tak beralasan. Gadis itu tetap ada. Bahkan membalikkan badan dan memberikan senyuman paling sejuk untuk Han.

Tak ada kata, tak ada yang bersuara. Semua sudah tersampaikan hanya dengan pandangan mata. Jarak yang ada mulai terkikis. Hingga masing-masing mampu merasakan panas nafas mereka.

Jarak itu hanya menyisakan nol koma sekian senti, ketika tangan Han mulai menggenggam ruang kosong. Tubuh gadis itu memudar bersama hembusan angin dan tarian daun maple.

“Tidak…jangan…”
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Nooo… !!!”

Teriakan itu menggema kembali di ruang kamar besar itu. Han mengusap wajahnta yang basah karena peluh.

Mimpi…mimpi indah…dan gadis itu…lagi…

Dia tak tahu apa yang akan terjadi, karena semua jauh di luar kuasanya, tapi, kini Han menyadari dan meyakini sesuatu.

Sadar jika gadis itu ada dan nyata dan yakin jika mereka, entah bagaimana telah ditakdirkan untuk bersama.
.
.
.
.
.
.
.

Sekian puluh kilometer dari tempat Han termenung, seorang gadis sedang menyembunyikan kepala di antara kedua lututnya. Bahunya bergetar pelan. Menggumamkn sebuah nama diantara isaknya.

“Feng gege…”

Mimpi…mimpi buruk itu datang lagi. Ingatan ketika sosok berlumuran darah itu terbaring di pangkuannya. Ketika mata yang selalu menatapnya penuh cinta terpejam selamanya.

“Feng gege…aku merindukanmu…”

Malam masih panjang, tapi Meihui menolak terpejam. Tidak jika dia hanya akan melihat lagi saat dunianya berhenti. Ketika pria yang dicintainya meninggalkannya.

Gadis itu masih memeluk lutut, semakin membenamkan kepalanya. Bulir-bulir itu masih menuruni pipinya.

‘Tuhan…bisakah Kau mengganti mimpiku dengan yang lebih indah…?’

******tbc******

Note:

Ni haooo…. part.3 nya semuaaaa…..

Hehehe…

Sampai jumpa di part selanjutnya…

For the real author… “Aechan Kim..” XieXie… *bow

Semua yang sudah mampir dan membaca  TERIMAKASIH BANYAAAKKKK…!!!! *kecup satu satu

Ppaaaaiiiiiii……^^

—mishan—

Dream…(part.2)

Dream…(part.2)

By. Aechan Kim

Rate: M

Genre: Romance

Cast: Han Geng, Kim Ryeowook a.k.a Li Xu n Oc

Warning: Lemon inside..

~~happyreading~~

Angin membuat ribuan rumpun bambu itu berbunyi manis. Seolah menyajikan musik alam yang paling merdu. Han berdiri di sana, di antara rimbunan bambu. Berjalan pelan sambil menengadah. Menikmati keindahan hijau yang mengingatkannya pada kampung halamannya di Mudanjiang.

Sinar matahari yang redup terasa begitu ramah. Perlahan pandangan Han terfokus ke depan. Ke arah jalan setapak yang entah kenapa terasa begitu panjang.

Bayangan sesorang yang tampak samar itu begitu menggelitik rasa ingin tahunya. Menggoda Han untuk mempercepat langkahnya. Dari berjalan cepat hingga berubah menjadi lari secepat yang bisa dia lakukan. Namun sayang, ujung jalan itu justru semakin terasa jauh dan panjang.

Han berhenti berlari. Terengah-engah mencoba mengatur nafasnya. Walaupun tak begitu jelas, dia sangat yakin, jika yang berada di ujung jalan adalah gadis itu. Suara tawa itu adalah suara tawa yang sama dengan yang sering dia dengar.

Pria itu berlari kembali. Tetapi, ujung jalan itu semakin menjauh, tawa yang terdengar pun tak sekencang tadi.

Pemandangan indah rumpun bambu mulai menghilang, tergantikan dengan kegelapan. Pria itu hanya mampu menatap bingung, saat dirinya seperti terjebak dalam ruang kosong.

‘Kau…dimana…?’
.
.
.
.
.
.
.
.

Han membuka matanya. Bulir-bulir keringat memenuhi wajah dan tubuhnya.

“Sir..are you okay..?”

“Yess…I’m fine…thank you…”

Pramugari itu mengangguk, meninggalkan Han sendiri.

Pria itu mengusap wajahnya kasar. Merutuk dalam hati, kenapa dia selalu terbangun dalam keadaan menyedihkan setelah mengalami mimpi itu. Mimpi yang terus menerus hadir di malam-malamnya. Semakin menggila ketika mendekati keberangkatannya ke Paris.

Ada apa ini…? Apa yang sebenarnya menunggunya di Paris…? Apakah mungkin…?

Pertanyaan pertanyaan itu terus bermunculan dalam otaknya, hingga dia kembali terlelap dalam damainya mimpi. Sementara Korea Airlines yang di tumpanginya membelah langit Asia ke Eropa.
.
.
.
.
.
.
.
.

Senja yang cantik seperti biasanya di kota Paris. Aston Martin putih series terbaru itu meluncur manis di jalanan Eropa. Sesekali Han memandang langit yang di penuhi semburat merah. Di tambah visual pohon-pohon tanpa daun yang membuat kota ini bagai kota fiktif dalam lukisan.

Pandangannya yang masih tertuju keluar menangkap sesuatu yang menarik. Sedang berjalan santai di pedestrian dengan mantel coklatnya.

Tunggu.. bukankah….

Han menatap obyek menarik itu hingga hilang dari pandangan. Menghela nafas panjang dan mengatakan pada dirinya sendiri jika mungkin dia yang terlalu terobsesi hingga melihat khayalannya di dunia nyata.

Mobil mewah itu berhenti di depan sebuah gedung beberapa lantai yang terlihat mewah, elegant, sekaligus menarik perhatian. Tulisan GG Mall besar ada di bagian atas, berkilat-kilat tertimpa cahaya senja. Membuat Han menyeringai senang.

Tuan Zhao menjemput Han di lobby, saling memberi salam dan sebuah tepukan hangat di bahu Han seperti biasa. Mereka berjalan berdampingan, menjelajah seluruh area mall. Sesekali bercakap-cakap dengan senyum lebar di wajah masing-masing.

Han memasang wajah simpatiknya dengan senyum hangat yang mampu melelehkan salju jika itu ada. Yeah… walaupun dia tetap merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.

Sejak tadi, oh bahkan sejak dia baru menginjakkan kaki di Incheon, dadanya tak berhenti berdesir, dan kini semakin menjadi ketika dia menginjak tanah Paris.

Ada apa..?

Kenapa…?

‘Tuhan…bisakah kau memberiku petunjuk apa saja…’
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kerlip indah Paris yang bagai cermin langit di atas sana, begitu indah dan melenakan. Tapi itu semua sama sekali tak membawa pengaruh apapun pada Han Geng. Well…. walaupun saat ini pria itu tengah menatap hamparan kerlip itu dari kamar hotelnya, tapi dinding tipis yang memagari hatinya membuatnya tak mampu meresap dalam pemandangan di hadapannya.

Sebelum dirinya akan mati bosan, Han memutuskan berjalan-jalan sejenak. Mengabaikan sekretaris Cha yang mulai menceramahinya tentang memakai syal dan mantel untuk menahan dingin.

Astagaa….dia bukan lagi bocah 7 tahun yang perlu diingatkan tentang hal-hal seperti itu.

Kaki panjangnya menyusuri tepian Sungai Seine yang serupa dengan Sungai Han di Korea. Sesekali merapatkan syal dan mantelnya, berusaha menghalau dinginnya Prancis yang menggigit tulang.

Pria itu menghentikan langkahnya, terpaku menatap Seine yang berkilau membiaskan pijar lampu-lampu jalan dan gedung.

Hingga suara tawa seseorang membuatnya terkesiap kaget. Menolehkan kepalanya, mencoba mencari sumber suara.

Tawa itu terdengar lagi, kali ini dengan langkah kaki yang berderap semakin mendekat.

Han berusaha keras memicingkan matanya. Ingin menangkap wajah si pemilik suara meski hanya sekejap.

Kakinya mulai bergerak gelisah, tak sabar. Merutuki jarak 10 langkah yang terasa begitu jauh.

Detak terdiam itu kembali berulah.

Tawa ini…tak asing…

Si pemilik tawa merdu itu tertangkap mata tipisnya. Semakin jelas dan lebih jelas lagi hingga mereka benar-benar berhadapan.

Ekspresi terkejut dan tak percaya tergambar jelas di wajah Han. Yang sedang di tatapnya saat ini adalah sosok yang telah begitu lama mengganggu hidupnya. Si pemilik bulan sabit yang selalu menghiasi mimpi indahnya. Seseorang yang membuatnya rela menghabiskan lebih banyak waktu untuk berfantasi seorang diri.

Bisakah jika dia menyebut ini sebagai pertemanan ajaib yang terjadi begitu singkat…?

Sesingkat hembusan angin dingin Paris, yang justru memberi efek yang berbeda bagi diri Han. Rasa hangat yang menjalari tubuhnya mungkin mampu membuatnya bertahan melawan hawa dingin Paris walaupun tanpa syal sekalipun. Bibir tipisnya mengulas senyum samar yang mungkin tak pernah dia tunjukkan untuk orang lain. Senyum yang kali ini berbeda dengan senyum tak simpatik palsu yang sering menghiasi wajahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bagi Meihui malam ini sama seperti ribuan malam lain yang dia alami di Paris. Malam indah walaupun angin begitu menusuk dan mungkin bisa membuat siapapun berfikir dua kali untuk keluar rumah.

Tapi, pengecualian bagi dirinya. Gadis itu tengah berjalan bersama sahabatnya di sepanjang tepian Seine. Seingatnya, dia selalu suka menatap Seine baik siang ataupun malam.

Disisinya, Emily, sahabatnya, tengah asyik berceloteh riang, menceritakan hal-hal lucu yang membuat Meihui tak berhenti tertawa.

Kegiatan menyenangkan mereka sedikit terhenti saat secara tak sengaja, mata bulan sabitnya bertemu dengan mata seorang pria. Biasanya Mei akan menganggap hal itu seperti kebetulan belaka jika si pria tak menatapnya begitu dalam.

Well…walau hanya terjadi beberapa menit, tapi tetap saja hal itu memunculkan tanya di hati Mei.

Dia tak lagi bisa berkonsentrasi pada apapun yang dikatakan Emily. Angan dan ingatannya tertuju pada pria itu.

Entah kenapa, dia bisa menangkap ekspresi terkejut yang terlihat jelas, juga sedikit semburat merah di wajah pria itu.

‘Apa ada yang aneh dengan wajahku..?’

‘Kenapa pria tadi menatapku seperti itu….?’

Berbagai pertanyaan terus bermunculan dalam benaknya. Membuat Mei semakin penasaran.

Siapa…apa..dan kenapa…?

Ah…mungkin akan ada saatnya nanti dia akan tahu siapa pria itu…

Dan entah kenapa Meihui yakin jika pertemuan mereka ini, bukan yang terakhir….
.
.
.
.
.
.
.
.

Han kembali ke tempatnya menginap dengan perasaan berbanding terbalik dengan kepergiannya tadi.

“Apa yang terjadi pada Boss…? Tak biasanya dia bertingkah seperti itu…?”

“Mungkin Boss baru saja mendapatkan sesuatu yang menarik…”

Sekretaris Cha dan Paman Jang masih sibuk berspekulasi tentang apa yang terjadi pada atasan mereka itu.

Well… wajar jika mereka seperti itu, mengingat Presdir mereka itu tak pernah sekalipun melangkah melayang seperti tak menapak tanah.

Bukannya tak tahu jika dia tengah menjadi obyek pembahasan menarik bagi anak buahnya, tapi Han memang sepenuhnya mengabaikan mereka. Suasana hatinya sedang dalam puncak yang terbaik.

Langkah-langkah kakinya terasa begitu ringan. Sebisa mungkin Han menyembunyikan perasaannya saat ini. Walau wajahnya tentu tak akan bisa menipu siapapun. Rasa bahagia ini bahkan bisa membuatnya meledak saat ini juga.

Dia memang belum tahu apapun tentang gadis itu. Namun yang membuatnya begitu bahagia adalah jika keyakinannya selama ini ternyata benar.

Gadis dalam mimpinya itu adalah sosok nyata. Hidup dan memiliki detak jantung seperti dirinya. Bahkan tawa itu jauh lebih merdu dibandingkan tawa dalam mimpi.

Kini…hanya satu yang harus dia lakukan, Han harus bisa mendapatkan gadis itu. Tak peduli seperti apa dan bagaimanpun caranya, Han Geng harus bisa memenangkan hatinya. Dan tak akan ada kata gagal dalam kamus Han…tak akan pernah….

‘So…my girl in dream…you must be mine…’

******tbc*******

Note:

Pendek..?

Miannn..hanya mampu ngetik sampe sini dulu…salahkan ponsel saya yg tak mau nyala… *pundung…

Buat authornya yg asli…sorry lama updatenyaaaa….

Soo…sampai jumpa di part selanjutnya….paaaiiiii….*lambai-lambai

Eh lupa…

TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR DAN MEMBACA ^^

****misshan****

Dream…. (part.1)

Dream….(part.1)

By. Aechan Kim

Rate: M

Genre: Romance

Cast: HanGeng, Kim Ryeowook n OC

Warning: Chapter, lemon inside….

~happyreading~

Mungkin bagi sebagian orang, bangun pagi dengan ditemani hangatnya sinar mentari akan terasa menyenangkan. Tapi, pengecualian untuk pria ini.

Hangatnya mentari pagi tak mampu membuatnya bergerak dari lelap yang nyaman. Menggulung tubuh tinggi nya dengan selimut tebal yang hangat.

Krriinngg…krriiinggggg…..

Suara dering familiar itu sedikit membuatnya terusik. Sekali..dua kali hingga membuatnya mengumpat pelan.

Dengan mata setengah terpejam, tangannya menggapai sumber suara. Menemukan benda itu di meja nakas di sisi ranjangnya.

Dia menggengam benda itu dan melemparkannya begitu saja. Membuat benda tak berdosa itu menghantam lantai dengan sukses.

Kamar besar itu hening seketika. Si pria mendesah lega kembali menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Sepertinya baru sekejap ia kembali terlelap, ketika sekali lagi dering yang familiar menyapa telinganya. Begitu terus berulang hingga beberapa kali.

Pria itu menyibak selimutnya. Menyumpahi apapun itu yang mengganggunya. Memaksa tubuhnya bangun dan bangkit dari ranjang.

Dengan langkah terseret setengah mengantuk, pria itu menuju ke meja kerja kecil di sudut ruangan.

Kembali mengumpat ketika kakinya tak sengaja menginjak mur kecil yang berserakan akibat ulahnya yang melempar jam beker dengan tidak sopannya.

Pria itu masih mengumpat ketika melemparkan komponen kecil itu dan meraih ponselnya yang sudah miring tanpa aturan karena terlalu lama bergetar.

“Kau berisik…!!”

“Boss … Anda memiliki janji dengan Tuan Zhao pukul 10…sekarang sudah pukul 9”

“Lalu….?”

“Anda harus mandi dan sarapan, Boss…”

“Tutup mulut..berhenti mengaturku seperti anak kecil..dan kau berisik….!!!”

Pria itu mengakhiri pembicaraan dengan begitu tak  sopan, melemparkan ponselnya ke ranjang.

Mengerang frustasi sambil melangkah ke kamar mandi. Well..mungkin dia masih bisa mencuri waktu untuk sejenak memejamkan mata.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“Han…its nice to meet you again….”

“Nice to meet you, Shushu Zhao..Its long time no see, right…?”

Dua pria itu berjabat tangan ditambah sebuah tepukan bahu untuk yang lebih muda. Saling mempersilahkan untuk segera mengambil tempat duduk. Mulai mendengarkan salah satu staff Tuan Zhao memberikan presentasi tentang rencana pembukaan GG Mall baru di Eropa. Sebenarnya hal itu mudah saja, mengingat Tuan Zhao adalah pebisnis handal yang sudah lebih dulu punya nama baik di daratan Eropa. Di tambah lagi dengan hubungan baiknya dengan keluarga Han sejak perusahaan ini masih di pimpin sang kakek. Dan yeah…bekerja sama dengan Tuan Zhao tentu bisa mempermudah jalan Han untuk menembus pasar Eropa.

Sepanjang presentasi berlangsung, pria itu –pimpinan tertinggi jaringan raksasa GG Mall di seluruh Asia, ya..ya..benar..namanya Han Geng..pria yang beberapa waktu yang lalu masuk dalam daftar 10 pengusaha muda tersukses di Asia– berusaha sekeras mungkin memusatkan segala perhatian dan konsentrasinya untuk memahami segala yang disampaikan.

Well…walaupun di balik wajah dingin dan sok serius yang di pasangnya itu, sesungguhnya pikiran dan angannya justru sedang berselancar ke lain tempat. Mengingat detail dan hal indah yang nyaris dia hafal.

“Bagaimana Han…? Kau setuju…?”

“Tentu..tentu saja..Paman Zhao…”

“Well..jika seperti itu…aku akan menunggu kehadiranmu di Paris minggu depan….” Tuan Zhao berdiri, merapikan jasnya. Dua pria itu berjabat tangan sekali lagi.

Han membalas uluran tangan itu dengan senyum hangat. Menundukkan kepalanya sedikit, memberi salam sopan khas Asia Timur. Mengantarkan tamu pentingnya itu hingga ke pintu lift.

Begitu tamunya berlalu, Han melepas wajah simpatiknya. Kembali memasang ekspresi tak peduli.

Pria itu melonggarkan dasinya dan menghempaskan tubuhnya kesofa besar di ruangannya. Hari masih cukup panjang, belum lewat tengah hari, tapi, dia sudah merasa sangat lelah.
.
.
.
.
.
.
.

Pintu ruangan besar itu terketuk beberapa kali. Seorang pria muda tampak berusaha membuka pintu besar itu dengan sedikit sulit karena nampan berisi mangkok berukuran besar, sekaligus piring kecil berisi lauk pauk dan segelas air putih. Pemuda itu meletakkan nampannya dengan hati-hati. Menghela nafas sejenak, pria itu membangunkan boss nya yang tengah asyik menutup mata.

“Boss…makan siang Anda sudah siap…Boss….”

Tak ada jawaban.

“Boss…”

Mata tipis itu terbuka, melempar tatapan membunuh, yang membuat si pemuda terdiam seketika.

“Kau harus punya alasan cukup bagus untuk membuatku terbangun, Sekretaris Cha…”

Pemuda itu menelan ludah gugup. Ya Tuhan.. dikaruniai wajah tampan tak membuat pria ini jadi menyenangkan. Oh…andai saja dia tak peduli dan telah berjanji pada gadis itu untuk menjadi sekretaris kakak nya sudah sejak lama dia meninggalkan orang ini. Sepertinya kata sekretaris pun kurang cocok untuknya karena nyatanya dia juga tak ubahnya sebagai pengasuh bayi besar yang tak bisa ditebak ini.

“Maafkan saya Boss…hanya saja…Anda…. makan siang…”

“Bukankah sudah ku katakan padamu, jangan perlakukan aku seperti anak kecil…keluar…sekarang.. !!!”

Pemuda itu bergegas keluar, sedikit tergesa-gesa.

Presdir Han hanya menatap makanan yang ada di hadapannya tanpa minat. Mengacak surai hitamnya sambil mengerang frustasi.

Lagi-lagi, dia harus merelakan kesempatan untuk melihat keindahan itu pupus.
.
.
.
.
.
.
.
.

Han sedang berdiri ditengah padang rumput luas yang begitu hijau. Pria itu mengedarkan pandangannya kesekeliling. Antara terpesona sekaligus bingung.

Hingga suara tawa yang terdengar merdu di telinganya itu membuatnya berpaling. Lebih fokus mencari dimana sumber suara indah itu.

Tawa itu terdengar sekali lagi. Membuatnya semakin sibuk mencari ke semua arah.

Pria itu mengerang frustasi, memejamkan matanya mencoba berkonsentrasi dengan segenap kemampuan yang ia miliki.

Tawa renyah itu terdengar sekali lagi. Kali ini terasa begitu dekat. Membuatnya tergoda untuk membuka mata.

Dan whoila…di hadapannya berdiri seorang gadis dengan paras seteduh sinar bulan. Tertawa dengan begitu ringan seolah tak pernah mengenal kesedihan.

Tubuh Han bergetar. Gadis ini, siapa? Bidadarikah? Atau malaikat tanpa sayap? Ataukah peri penghuni negeri dongeng..?

Pria itu mencoba bergerak maju, mengulurkan tangan, ingin menyentuh hal indah yang sedari tadi tertangkap matanya.

Sayangnya, setiap kali dia bergerak maju, sosok itu akan semakin menjauh. Berulang-ulang, hingga gadis itu berlari menjauh. Sesekali menolehkan kepalanya kebelakang seakan memanggil Han untuk mengikutinya.

Han mempercepat langkahnya. Berharap bisa menggapai sosok itu. Ketika tangannya nyaris menyentuh gadis itu, gerakannya terhenti, ada dinding pembatas yang menghalangi mereka. Han memukul dinding kaca itu, mencoba mencari celah apapun, tapi nihil.

“Siapa kau..? Katakan sesuatu…?”

Gadis itu hanya tersenyum ringan, memandang Han dengan tatapan lembut yang tak akan pernah bisa dia lupakan.
.
.
.
.
.
.

“Tolong aku….!!!!”

Teriakan itu terdengar keseluruh penjuru kamar, dan si pemilik suara kini sedang duduk di ranjang besarnya dengan bulir bulir keringat di seluruh tubuhnya.

Sama..mimpi itu…gadis itu..Han melihat hal yang sama. Mimpi aneh yang bisa membuatnya berdesir halus. Keindahan menyesakkan yang selalu hadir dalam mimpinya, sejak dirinya masih begitu muda.

Mimpi yang entah kenapa memicu semangat mudanya untuk bekerja dengan keras. Berharap dia mampu mempersiapkan hal sempurna untuk gadis dalam mimpinya.

Mungkin akan terdengar konyol dan sedikit gila. Tapi, jauh di lubuk hatinya Han meyakini jika gadis itu adalah sosok nyata. Hanya satu yang harus dia lakukan, berjuang menemukannya.
.
.
.
.
.
.
.

Seminggu berlalu sejak pertemuan Han dan Tuan Zhao. Saat ini, pemilik jaringan GG mall itu terlihat melangkah santai di lobi bandara Incheon.

Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap penuh minat padanya atau pandangan perempuan tak punya nyali yang menatap diam-diam sambil tersipu malu.

Oh…tapi jangan terlalu berharap ladies…serigala yang ini sudah menemukan little red riding hood nya sendiri.

Katakan jika Han gila karena menaruh harap pada sesuatu yang belum tentu nyata, tapi memang mau tak mau keberadaan si mata bulan sabit itulah yang selalu mampu memicu semangatnya.

Semangat berusaha menjadi yang terbaik dan semangat untuk mencari keindahan itu agar menjadi nyata. Yah…walaupun sampai saat ini hasilnya nyaris nihil.

Pria itu merebahkan tubuhnya dengan nyaman di area first class penerbangan yang dia pilih. Bersiap menutup mata. Berharap jika perjalanannya kali ini yang cukup panjang memberinya lebih banyak ruang untuk bermimpi.

Mengikuti detak jantungnya yang tak berhenti berdesir sejak tadi. Bertingkah berkali lebih cepat.

Paris…. mungkinkah…??

*****tbc*****

Note:

Ni Haoooo…..Im back again…hehee..

Kali ini bukan ff dari aku…ini ff buatan my lovely dearest sister..buat hadiah ulang tahun saya…hahaa..*promoin ultah…

Soo…enjoy it readers…

And… buat semua yg udah mau mampir dan membaca.. TERIMAKASIH BANYAAKK!!!!!

for my sister Aerin-ya… Xie xie… untuk this gorgeous story…*kecup kanan kiri…

Last…paiiiiiiii…..

–misshan–

Regret..? Hell yeah….

Regret…? Hell yeah…..

By. Ellena Han

Rate: T

Genre: Romance, family, brotheship

Cast: Han Geng n Oc

Disclaimer: I’m just own the story plot, chara isn’t mine…

Other sequel for Regret series…

~~happy reading^^~~

Seandainya, satu kata yang kini begitu menggelitik otak pria itu. Dengan berbagai macam substitusi kalimat dengan menggunakan kata seandainya.

Seandainya saja dulu dia tidak begitu egois. Seandainya saja dulu dia mau mendengarkan dan sejenak melepaskan sejenak topeng sok dingin yang selalu di pasang di wajahnya itu.

Demi orang yang dia sayangi, demi satu-satunya ikatan darah yang dia miliki.

Dan seandainya waktu itu mereka bisa berbicara dari hati ke hati layaknya sahabat lama.

Well….kalimat-kalimat diatas masih di tambah lagi dengan berbagai macam ungkapan dengan kata seandainya sebagai kata depan ataupun kata penghubung.

Tapi…see.. apa kata seandainya berarti untuk saat ini…? Jawabannya tidak…!

Semua sudah terjadi dan kata itu tak akan bisa memutar kembali roda waktu yang telah berputar. Semua telah terjadi.

Pria itu masih berdiri diam, dengan dua tangan berada dalam saku celananya. Memandang halaman rumahnya yang luas dari kaca besar di hadapannya.

Disana, sosok gadis cantik itu tengah tertawa bersama dua orang bocah cantik yang sedang menggodanya dengan gelembung-gelembung sabun buatan mereka.

Mata tipisnya tak melewatkan sedetikpun setiap tawa yang terulas, setiap senyum yang terlukis. Merekam semua adegan yang sedang berlangsung.

Dulu, dia akan melakukan apapun untuk melihat tawa itu, untuk membuatnya selalu terulas di bibir merah gadis itu. Ah…bukan hanya dulu, tapi juga kini dan nanti.

Yeah… hingga satu kesalahan yang dia lakukan membuatnya hampir kehilangan tawa itu. Tawa milik seseorang yang sangat dia sayangi. Derai milik adik kecilnya…

Dia kira, dia yang paling tahu dan mengerti hal apa saja yang dapat dia lakukan untuk dapat menjaga tawa itu. Sesuka hatinya mencoba mengatur jalan takdir kehidupan adiknya. Tanpa bertanya apa gadis kecilnya itu sependapat atau tidak.

Dia pikir, dia mengerti segalanya. Tapi ternyata dia keliru. Terlalu sombong jika dia kira, dia mampu melawan roda nasib yang terus berputar.

Adiknya meninggalkannya begitu saja. Meninggalkan semua dunia yang telah dia berikan untuk gadis kecilnya itu. Satu hal yang pria ini lupa, adiknya bukan lagi gadis kecil yang dulu suka bergelayut manja di bahunya.

Gadis kecilnya itu telah tumbuh dewasa, mampu berdiri dan berfikir sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.

Pria ini terluka saat itu….tentu saja..tak akan yang menyalahkan ataupun meragukan jika dia terluka saat itu. Dia sudah merencanakan semua yang terbaik untuk gadis kecilnya. Memberi semua yang dia bisa. Mencoba membawakan seorang pangeran yang menurutnya mampu melindungi dan menyayangi gadis kecilnya.

Hah….tapi lagi dan lagi dia melupakan satu hal, adiknya bukan anak-anak. Gadis itu menolak, berkata jika dia punya pilihan sendiri, memiliki cinta sendiri.

Sejauh yang pria ini ingat, dia begitu marah saat itu, membentak gadis kecilnya. Memberinya peringatan jika dia tak tahu apapun tentang cinta.

Malam itu, disalah satu malam musim panas, mereka bertengkar hebat untuk pertama kalinya dalam seluruh usia mereka.

Hingga gadis kecilnya pergi, mengikuti cinta yang dia inginkan.

Rasa benci itu mulai tumbuh dalam di hatinya. Dia benci.. bukan benci pada gadis kecilnya bukan…dia benci pada dirinya sendiri. Benci karena dia tak mampu menekan egonya dan menahan gadis kecilnya agar tak pergi dari sisinya.

Jangan kalian kira dia akan melepaskan adiknya begitu saja. Dia mencarinya keseluruh penjuru negeri.

Yeah….menjadi mafia kelas kakap tentu memudahkannya menemukan dimana gadis kecilnya berada.

Dia menemukan gadis nya itu di Korea, bersama seseorang yang dia cintai. Tapi ketika melihat binar bahagia adiknya di hari pernikahannya yang sederhana, pria ini luluh. Memandang dari jauh bagaimana senyum itu terulas lagi di bibir kesayangannya.

Bagaimana dia menggumamkan maaf tulus karena tak bisa mengantarkan gadis kecilnya itu berjalan ke altar seperti yang selalu dia janjikan saat mereka masih kanak-kanak.

Ayolah…sejahat dan sekejam apapun dia di dunianya, dia tak akan mungkin menyakiti saudaranya sendiri.

Perlahan tapi pasti, pria ini mulai merubah jalan pikirannya. Berusaha memberitahu dirinya sendiri jika gadis kecil yang dulu suka menangis mengadu padanya itu kini mampu berdiri dengan dua kakinya sendiri.

Sedikit rasa bangga mau tak mau menyelinap dalam hatinya. Sungguh, ingin rasanya saat itu dia berteriak pada dunia. Ini adiknya….lihatlah…gadis yang tersenyum cantik itu gadis kecilnya.

Tapi…bukankah roda kehidupan itu akan selalu berputar kan….? Berita kurang menyenangkan itu mau tak mau sampai juga ketelinganya. Membuatnya menghancurkan ruang kerja nya sendiri saat itu.

Rasa marah yang telah lama tak muncul dalam hatinya itu kembali. Demi Tuhan….manusia mana yang tak akan marah dan kecewa jika tahu saudaranya tak mendapatkan kebahagiaan seperti yang di harapkan…? Siapa yang tak akan sakit hati jika bukan senyum yang dia dapat, tapi air mata yang tak berhenti mengalir….?

Perasaan itu hampir membuatnya gila menahan emosi. Hingga dia mulai bertanya pada Tuhan, apa salahnya hingga Tuhan menghukumnya seperti ini…?

Pria itu masih tak bergerak dari tempatnya berdiri. Memandang lurus ke arah halaman dengan sorot mata berbahaya. Siapapun pria yang telah berani menyakiti adik kesayangannya, Tuan Besar Han Geng tak akan melepaskannya hidup-hidup.

“Apa kau sedang merencanakan untuk membunuh seseorang…wajahmu mengerikan….”

Suara pelan yang berbisik di lehernya itu membuatnya terkesiap. Sedetik kemudian sepasang lengan melingkari tubuhnya, dengan kepala bersandar manja di punggung tegapnya.

“Sebenarnya tidak…tapi kau baru saja memberiku ide…”

Sebuah cubitan mendarat di pinggang Han, membuatnya terkekeh pelan.

“Bagaimana dia…?”, pria itu bertanya lirih.

“Kau menghawatirkannya ya….?”

Pria itu mendengus pelan. Perempuan di belakangnya ini selalu mampu menggodanya.

“Tentu saja aku mengkhawatirkannya…”

“Lalu, kenapa tak pernah kau katakan…?”

“Aku lebih suka melakukan daripada mengatakan….”

Perempuan itu tertawa pelan. Masih melingkarkan lengannya ke tubuh Han.

“Khas dirimu, benar..?”

“Kau tahu aku, Sayang….”

Tawa renyah kembali mengalun.

“Jadi…kapan kau berhenti mengurung Aerin, Ge…?”

“Mengurung…? Apa maksudmu….?”

“Well…tak memperbolehkannya kemanapun, bukankah itu sama saja dengan mengurung…?”

Pria itu berdecak kesal.

“Aku tak mengurungnya….aku berusaha melindunginya….”

“Melindungi dari apa….?”

Ya…melindungi dari apa… pria itu juga tak tahu apa jawabannya.

Han hanya tak ingin lagi melihat adiknya tersakiti. Melihat air mata kembali mengalir dari mata bulat Aerin.

“Dari pria itu mungkin…”

“Sampai kapan….?”

Hening, tak ada suara sedikitpun. Perempuan itu melepas pelukannya. Mengambil tempat disisi Han. Mereka berdiri bersisihan dalam diam.

“Sampai kapan kau akan melakukannya….?”

“Sampai dia sembuh….”

“Ge..kau…”

“Cukup…!! Aku tak mau berdebat apapun dengan mu tentang hal ini…aku yang berhak atas diri Aerin saat ini….”

“Dia memiliki suami….”

“Suami macam apa yang menelantarkan istri dan calon anaknya sendiri…”, Han mendesis marah. Topik ini begitu sensitif untuknya karena membuat luka itu kembali berdarah. Membuatnya kembali melihat bagaimana pucat nya wajah Aerin ketika pulang kembali kerumah ini.

“Bagaimana jika dia sudah berubah…?”

“Dan aku tak akan percaya….”

“Gege…kau tak bisa…”

“Apa yang aku tak bisa….”

Perempuan itu berdecak kesal. Ya Tuhan…kenapa pria ini begitu keras kepala.

“Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua Ge…begitupun dengan Li Xu…”

Perempuan itu sepenuhnya mengabaikan dengusan Han yang berkata…

“Jangan sebut nama itu di hadapanku…”

“Setiap orang berhak berubah, berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya….”

“Untuk apa….agar dia bisa menyakiti adikku lagi….tak akan pernah….”

“Bagaimana dengan Aerin…apa kau tahu apa keinginannya kali ini….?”

Han terdiam, keinginan Aerin…? Apa keinginan Aerin…? Sungguh, dia tak tahu apapun tentang keinginan gadis kecilnya itu.

“Aku…”

“Kau tak tahu…karena kau tak pernah bertanya padanya….”

“Tsk..bukankah kau tahu aku….”

“Jika seperti itu, beri dia kesempatan…”

Han terdiam, membuat perempuan di sisinya itu memandang lurus padanya. Mengusap lengannya penuh kasih dan menyandarkan kepalanya di sana.

“Bagaimana jika adikmu masih mencintai pria itu….apa kau juga akan memaksanya untuk tinggal….?”

“Aku hanya tak ingin dia terluka lagi Meihui…tidak…aku tak mau melihatnya hancur…”

“Wow…kau sangat menyayanginya ya…”

“Tsk….”

Mei tertawa pelan, masih mengusap lembut lengan Han yang ada dalam pelukannya.

“Beri dia kesempatan Ge…biarkan Ae menentukan sendiri jalan mana yang akan dia pilih kali ini….”

“Tapi…”

“Bukankah kau menyayanginya…?”

Han mengangguk.

“Jika seperti itu…berikan apapun yang dia inginkan Ge…”

“Meihui….kau tidak mengerti….!!!” Nada suara Han kembali meninggi. Kenapa perempuan ini tak mengerti apa maksudnya…

“Aku mengerti…aku sangat mengerti….kau lihat senyum Ae…senyum itu tak tulus Ge…”

Meihui mengarahkan pandangannya pada Aerin yang masih bermain dengan dua orang gadis kecil itu.

“Dia tersenyum…tapi senyum itu hanya di bibir… sorot mata Aerin kosong…apa kau tega….?”

Han tak menjawab. Ikut sibuk memperhatikan adiknya. Ya… Meihui benar…Aerin memang tersenyum, tapi senyum hampa. Ya Tuhan…apalagi yang harus dia lakukan….?

“Kita hanya orang luar Ge….tak seharusnya kita memaksakan apa yang kita inginkan untuk hidup Aerin…”

“Orang luar apanya…dia adikku Mei…satu-satunya saudara yang aku miliki…dan kau lebih memilih membela pemuda sialan itu daripada adikku…?”

Meihui menghela nafas. Dia tahu pasti akan ada kesalah pahaman seperti ini. Bukan hal mudah menaklukkan pria dengan harga diri setinggi langit seperti Han.

Perempuan itu menangkup pipi Han dengan dua tangannya. Nada suara Han yang meninggi membunyikan alarm bahaya di otaknya.

“Dengarkan aku…ku mohon…. dalam artian harfiah ya…dia adikmu Ge…tak ada yang meragukan itu….kita ini orang luar dalam arti kita bukan mereka Ge…bukan kita yang menjalani atau menentukan cinta mereka…”

“….biarkan Aerin memperbaiki dirinya sendiri….biarkan dia belajar arti dari cinta itu sendiri…bukan kapasitas kita untuk kembali mendikte jalan hidup Ae…”

“Ya…dan terakhir kali aku membiarkannya memilih, dia jadi seperti ini…”, Han mendesis.

“Semua orang bisa berubah Ge….percayalah…setiap perubahan memang memberi dampak… tapi aku yakin, kali ini perubahan itu akan menuju ke arah yang lebih baik….”

“Darimana kau tahu….?”

“Instuisi seorang perempuan mungkin….”, Meihui menyeringai. Membuat Han memutar bola matanya mendengar jawaban istrinya itu.

“Lalu…bagaimana jika aku tak mendapatkan hasil yang aku inginkan lagi…..?”

“Jika seperti itu…kau boleh melakukan apapun yang kau mau Ge….”

“Seperti mencincang nya menjadi 13 bagian dan mengumpankannya ke ikan hiu….”

Mata Mei membola.

“Itu mengerikan, bodoh…”

Han tertawa. Merengkuh perempuan itu dalam dekapannya.

“Kau sudah menghancurkan hidup Li Xu, membuatnya terbuang dari pekerjaannya, terusir dari lingkungannya, dan sederet hal-hal lain yang membuatku mual Ge…”

“Itu menyenangkan, Sayang…”

“Gege….”

“Sorry….” Han mengumamkan kata maaf dengan santai. Meihui kembali memutar bola matanya, semakin menyusupkan kepalanya kepelukan Han. Dia tahu, cara termudah menaklukkan pria ini adalah dengan bermanja padanya.

“Jadi…kau akan memberi mereka kesempatan kan…?”, perempuan itu bertanya pelan. Memasang wajah memelas. Tangannya mengusap pelan dada bidang suaminya.

“Asal aku boleh melakukan apapun jika hasilnya tak seperti yang kuharapkan…”

Meihui menyeringai. Dia menang….

“You are the boss, Ge…”

“No….you’re the boss Mei….”

“Ain’t Ge….you’re the boss…but I’m the queen….”

“Yess…you’re my queen….so I need you…to calm my self… now….”

Meihui tertawa, refleks mengalungkan lengannya keleher Han ketika kakinya tak lagi menapak tanah.

Ah… Aerin Sayang….kau bisa memikirkan kembali cintamu setelah ini. Tentang pria ini….serahkan saja padaku… Jiejie mohon, berbahagialah, raihlah impian-impianmu yang dulu belum bisa kau capai. Limpahilah buah hati kalian dengan cinta kasih tiada terkira…. aku menyayangimu….

–Huang Meihui– –Han Meihui–

Gadis kecilku…dulu ketika kita masih kanak-kanak, aku pernah berjanji akan mencarikan pangeran untukmu….tapi aku tak ingin keputusan ataupun keinginanku kali ini kembali keliru dan membuatmu terluka untuk kesekian kalinya. Aku akan mencoba mempercayaimu…mengalah untukmu sekali lagi…carilah hidupmu sendiri.. sembuhkanlah lukamu..seperti apa yang aku ajarkan padamu. Kau putri keluarga ini… tak ada apapun yang sanggup membuatmu terpuruk.
Jika dia menyakitimu lagi, katakan padaku dan aku akan menghapuskan namanya dari muka bumi…
Berbahagialah….

–Han Geng–

–end of this part–

Note:

Hahahaha….*ketawa gaje..

Apa ini…? Entahlah aku juga tak tau…*plaak…digamplok readers…

Well…sequel ketiga dari regret..jadi tinggal satu series lagi sebelum end….*g ada yg nanya…

Okay..okay…buat semua yang telah mau membaca dan berkunjung kemari…
TERIMAKASIH BANYAKKKK….!!!! *bow kanan kiri

And… paaaaiiiiiii….paiii…..

—miss han—

Regret..? Yess, it is….

Regret..? Yes, it is….

By. Ellena Han

Cast: Kim Ryeowook a.k.a Li Xu n Oc

Rate: T+

Genre: Romance

Disclaimer: I’m only have the story, chara isn’t mine.. ^^

~happyreading ^^~

(Sequel from the “Regret..? No, its’nt”)

Gadis itu tersenyum dengan hangat. Pelan-pelan meletakkan telapak tangannya pada tangan seorang pemuda yang terulur menunggu sambutannya. Sedikit tersipu malu ketika si pemuda balas menggenggam nya hangat, mengundang kekeh pelan dari si pemilik tangan.

Gadis itu membiarkan pemuda tampan di sisi nya itu membawanya melangkah. Angin musim gugur mulai terasa menusuk dan coat tipis yang membalut tubuhnya mulai tak bisa melawan tusukan angin dingin. Kembali tersipu ketika si pemuda semakin merapatkan jarak di antara mereka, membuat pipinya kembali di hiasi rona merah yang menggoda.

Li Xu menatap pemandangan didepannya itu dengan gigi menggertak.

Hell..ayolah…ini pasti hanya mimpi buruk, lalu dia akan bangun ditambah dengan sedikit histeris dan semua akan baik-baik saja.

Baik-baik saja dalam artian gadis itu masih miliknya dan bukan berada dalam genggaman hangat seorang pemuda lain.

Sialnya….kali ini Li Xu sepenuhnya dalam keadaan terjaga, dan yang pasti ini tentu saja bukan mimpi.

Yeah…..walau demi apapun dia masih berharap seseorang akan memukul kepalanya keras-keras dan membuatnya terjaga. Tapi…jika ini mimpi…bukankah seharusnya dia tak akan merasakan kakinya yang kesemutan karena terlalu lama berdiri…?

Sudah berapa lama dia disini…? Berdiri diam dengan jarak aman di dekat salah satu Kindergarten, mengamati dalam diam, lengkap dengan topi, masker dan kacamata hitam yang kini sempurna membingkai wajahnya. Hingga membuat siapapun yang tak mengenalnya akan mengira jika dirinya ini stalker kelas atas….

Walau Li Xu yakinkan bahwa pendapat itu tak sepenuhnya salah. Dia berada di tempat ini memang hanya demi melihat gadis itu.

Peduli setan dengan berapa banyak waktu yang harus dia habiskan hanya untuk mengendap-endap seperti ini. Satu jam….dua jam…. ah… dia bahkan rela menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk melihat gadis itu sekali lagi.

Terdengar chessy…? Dia tak peduli…sudah lama dia merindukan dirinya yang bisa semelancolic ini.

Mengenai siapa gadis itu, ayolah…apakah kalian tak membaca ceritaku sebelumnya…oh….sayang sekali…andai saja kalian mau membacanya…..

Baik…baik…lupakan saja….

Gadis cantik itu milik Li Xu. Setidaknya dulu milik Li Xu. Sekarang, walau rela menyerahkan apapun yang dia miliki agar gadis itu tetap menjadi miliknya, toh…fakta berkata sebaliknya.

Demi Tuhan…. Li Xu masih berharap dirinya yang akan menggandeng mesra tangan si gadis, bukan pemuda oriental kelebihan tinggi yang sialnya sangat tampan itu, seperti bertahun-tahun lalu, ketika mereka masih bersama dalam naungan sesuatu yang bernama cinta. Hingga gadis itu, Aerin-nya memutuskan pergi dari hidupnya.

Bukan salah Aerin, sepenuhnya salah Li Xu, karena perbuatannya dan tingkah lakunya yang sampai saat ini masih disesalinya.

Kesalahan paling memalukan yang pernah Li Xu buat dalam sejarah hidupnya sebagai seorang pria.

Yeah…dan kini ketika dia menyadari apa kekeliruannya, apakah sudah tak ada lagi kesempatan kedua..?

Kata kesempatan kedua rasanya sudah tak cocok lagi, Li Xu sadar, Aerin sudah berulangkali memberinya kesempatan untuk berubah. Meyelipkan harapan jika Li Xu mau menahan sedikit egonya dan kembali bersikap lembut pada Aerin. Hahaha… beribu kesempatan yang nyata-nyata telah di abaikan oleh Li Xu.

Bodoh….bodoh…dan bodoh….kemana otak jenius yang dulu selalu dia banggakan…..kenapa justru membuatnya terlambat menyadari hal buruk apa yang telah dia lakukan….

Li Xu tahu, dan benar-benar paham kesalahannya mungkin sudah menyakiti gadis itu terlalu dalam. Bukan mungkin, tapi pasti telah menyakitinya sedemikian rupa hingga luka itu tak akan mudah sembuh.

Astagaaa…Li Xu sendiri bahkan masih tak percaya dirinya mampu berbuat senista itu. Mengingkari janji dan semua kalimat yang dia ucapkan dengan mulutnya sendiri.

Dia telah gagal. Gagal menjaga cintanya, gagal menjalani hidupnya dan gagal membahagiakan Aerin hingga gadis itu pergi dari hidupnya.

Membahagiakan…? Hah…yang benar saja…kata itu bahkan amat sangat jauh dari definisi nyata kehidupan yang Aerin jalani.

Apakah terlambat jika dia menyesalinya sekarang….?

Ingin memperbaiki semuanya saat ini…masih bisakah…?

Sungguh, Li Xu tak pernah tahu jika melihat Aerin tersenyum hangat untuk pria lain itu jauh lebih menyakitkan dari apapun.

Pria itu ingin menyembuhkan luka yang Aerin alami karena perbuatannya.

Tak ada yang lebih di inginkannya saat ini selain melihat Aerin bahagia. Bahagia dengannya tentu saja, bukan dengan pria oriental yang sialnya sangat tampan itu.

Li Xu ingin tangannya sendiri yang mengobati setiap luka yang ada pada gadisnya.

Ah… gadisnya…? Ya Tuhan….apa Aerin masih miliknya….? Bagaimana jika dia telah membuang Li Xu dan memilih bersama pria itu…?

‘Berhenti berfikir Li Xu…atau otakmu akan meledak…’

Li Xu merutuki otaknya yang tak pernah berhenti memikirkan segala kemungkinan buruk. Ayolah…yang dia perlukan hanya mencoba dan kesempatan ekstra.

Li Xu menghela nafas berat. Menyandarkan tubuh kurusnya pada batang pohon tempatnya mengamati setiap gerakan gadis itu.

Gadis itu Aerinnya. Cinta yang dia sadari setelah gadis itu pergi meninggalkan Li Xu dalam kubangan penyesalan yang semakin menenggelamkannya.

“Apa yang harus aku lakukan Ae-ya….?”

Pria itu mendesis lirih entah pada siapa. Dia benar-benar tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Memaksa untuk bertemu dengan Aerin, itu sama saja bunuh diri. Hasil yang diperolehnya selama pengamatannya, gadis itu tak pernah di biarkan seorang diri.

Waktu itu ketika dia pulang dan mendapati rumahnya sepi tanpa Aerin, Li Xu hanya menganggapnya angin lalu. Dengan pikiran konyol jika dia akan lebih ringan karena kehilangan beban.

Beban….? Bibir nya masih mengulas senyum miris ketika kata itu terlintas dalam benaknya. Seperti itukah dia dulu menganggap gadis cantik itu…?

Yeah…Li Xu yakin jika dirinya mulai gila.

Tapi memang itulah nyatanya. Pria itu memang sempat menganggap Aerin tak ubahnya hanya beban dalam hidupnya. Dengan tingkah menyebalkan yang selalu mengerecokinya tentang hal-hal yang dulu akan selalu membuat Li Xu mendengus kesal.

Pria itu mulai bertingkah mengabaikan Aerin. Menyakiti fisik dan batinnya. Mencibir setiap perhatian dan kekhawatiran yang di berikan gadis itu yang hanya untuknya. Jangan lupakan juga sekian macam hal-hal bodoh yang dia lakukan untuk membuat Aerin meninggalkannya.

Dan kini, setelah Aerin benar-benar meninggalkannya, apa yang dia dapat…?

Bahagia…? Tidak.. Rasa lega..? Tidak… Yang ada hanya penyesalan dan keinginan untuk membawa gadisnya kembali. Agar bisa menutup lubang besar yang kini ada di hatinya.

Seakan belum cukup semua beban yang di pikul Li Xu, hingga Tuhan kembali menamparnya dengan kenyataan yang membuatnya menangis semalaman.

Aerin mengandung buah hati mereka. Buah cinta mereka. Li Xu menemukan surat pernyataan itu seminggu setelah kepergian Aerin. Seketika itu kepalanya seperti baru saja di hantam jutaan palu imajiner yang membuat pandangannya menggelap dan kepalanya berdenyut gila-gilaan.

Astagaa… dosa apa lagi yang telah dia buat Tuhan….? Dia tak hanya menyakiti Aerin, tapi juga buah hati mereka yang belum sempat melihat indahnya dunia. Ayah macam apa dirinya ini Tuhan…..?

Dan kini dengan kemungkinan jika Aerin dan calon bayinya telah benar-benar meninggalkannya demi pria itu yang mencintai dan melindunginya, justru membuat Li Xu semakin sakit…

Pria itu kembali menghela nafas. Jika benar menghela nafas bisa membuang keberuntungan, mungkin sudah beratus keberuntungan yang dia tolak hari ini.

Tidak….dia mungkin belum sepenuhnya kehilangan kesempatan itu, dia masih bisa mengharapkan Aerin kembali.

Tak peduli jika dia akan terdengar seperti pria brengsek tak tahu diri. Li Xu benar-benar tak peduli. Garis bawahi dan beri font tebal pada kata tak peduli. Demi Aerinnya Li Xu akan melakukan apapun.

Dia harus mendapatkan gadisnya kembali, buah hatinya kembali.

Apapun caranya…!!
.
.
.
.
.
.
.

“Aku bukan penakut….aku bukan penakut….”, berulang kali Li Xu menggumamkan kalimat itu untuk mensugesti dirinya sendiri. Pemuda itu sedang duduk dengan gugup di pojok sebuah coffee shop.

Mengerling ke pintu masuk setiap pintu itu berdenting terbuka. Keringat dingin sedikit membasahi punggung dan telapak tangannya. Dia sedang menunggu seseorang. Dan demi Tuhan…dia berharap orang ini bisa membantunya memperbaiki semua kebodohannya.

“Aku bukan penakut….”, pria itu kembali bergumam. Menghembuskan nafasnya agar jantungnya kembali bersahabat.

Ya…ya… Li Xu memang bukan penakut. Dia pemberani, amat sangat pemberani malah.

Bayangkan saja, dia sudah membawa kabur adik kesayangan Mafia Hongkong, menikahinya tanpa restu dan menelantarkannya dengan begitu kejam. Kurang pemberani apalagi dia…?

Well… selain kenyataan jika seharusnya dia bersyukur pada Tuhan, karena dia masih bisa bernafas saat ini dan bukan mati konyol di tangan pembunuh bayaran atau apa. Menjadi orang baik dan membahagiakan istrinya sebaik mungkin dan bukan dengan menjadi pria brengsek yang hanya mampu menyakiti seorang perempuan.

“Sudah lama menungguku…?”

Li Xu terkesiap. Perempuan yang tiba-tiba muncul di hadapannya itu membuatnya hampir berteriak kaget.

“Belum, Nyonya….”

Perempuan itu melepas kacamata hitam yang membingkai wajahnya. Mengangkat sebelah alisnya.

“Bisa kau ubah panggilanmu..kau membuatku terdengar seperti nenek ku…”

Li Xu membuka tutup mulutnya tanpa suara. Ada aura yang berbeda dari perempuan di hadapannya ini. Sanggup membuatnya terdiam hanya dengan satu kalimat.

“Apa yang ingin kau bicarakan…?”

Li Xu menimbang sejenak. Memilah kalimatnya agar tak salah ucap. Kemarin ketika dia akhirnya bisa menghubungi perempuan ini dan mendapat persetujuannya untuk bertemu, Li Xu nyaris berteriak seperti orang gila. Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap aneh dirinya. Dia tak akan mengambil resiko salah kalimat dan membuat pertemuan susah payah ini sia-sia.

“Nyonya…maksudku… Noona…boleh aku memanggilmu Noona…?”

Perempuan itu mengangguk, menoleh sebentar untuk mengucapkan terimakasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya.

“Ini tentang Aerin….”

Perempuan itu menatap Li Xu sejenak, tampak tak terlalu terkejut dengan apa yang Li Xu ucapkan. Pasti dia telah menebak jika percakapan ini tak akan jauh dari hal tentang Ae.

“Adikku….?”

Li Xu bergumam ‘ya’ lirih. Mengabaikan tatapan mengintimidasi yang kembali di terimanya ketika menyebut nama Aerin.

“Apa yang ingin kau tanyakan….?”

“Sebelum itu Noona…. kenapa kau sutuju untuk bertemu denganku….kau tak takut aku akan berbuat buruk padamu…?”

Perempuan itu tersenyum tipis. Menatap Li Xu sambil menyeruput minumannya.

“Apa kau pikir aku sendirian Li Xu-ya….?”

Li Xu terkesiap. Tersadar akan sesuatu. Pria itu kembali mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Pengunjung coffee shop itu tak terlalu ramai. Hanya sepasang muda-mudi yang tampak sedang berkencan. Lalu dua orang pria yang sedang menghadap berbagai macam berkas yang berseraka di meja mereka. Di meja paling dekat dengan pintu ada sekelompok mahasiswa yang tengah berdiskusi seru.

Li Xu baru saja menyadari jika mereka semau menempati meja di sekelilingnya. Membuat posisinya terjebak di sudut ruangan.

Baik…. ini jelas bukan satu pertanda bagus. Sekali saja dia melakukan kesalahan, maka bisa di pastikan dia tak akan keluar hidup-hidup.

Pemuda itu menelan ludahnya gugup. Kembali menatap perempuan itu yang kini mengangkat sebelah alisnya ketika menatap wajah pias Li Xu.

“Oh…kau sudah tahu maksudku rupanya Li Xu-ya…”

Lagi-lagi Li Xu terpaksa menelan ludah yang entah kenapa terasa begitu sakit di lehernya. Perempuan di hadapannya ini bukan perempuan sembarangan. Entah ini kenyataan yang harus dia syukuri atau dia sesali.

“Jadi…?”

“Eum….Noona…apa kau bisa membantuku….?”

“Memangnya kau pikir apa yang sedang aku lakukan Li Xu ya…?”

“Eh…”

Ya Tuhan…tolong…bagaimana dia yang bisa berlaku kejam di hadapan Aerin justru mati kutu di hadapan perempuan ini. Hanya mampu mengucapkan kata ‘eh’ dengan gugup. Memalukan….!

“N-noona….apa…apa aku bisa bertemu Aerin…?” Li Xu menggigit pipi dalamnya. Berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai bertingkah memutar kemungkinan buruk.

“Untuk apa….? Menyakitinya sekali lagi…?”

Li Xu terdiam. Ini tak akan mudah. Ya..tak akan mudah menjelaskan.

“Apa kau akan menertawakanku jika aku berkata aku menyesal…?”

Tak ada yang bersuara. Perempuan itu tak bergeming. Hanya memandang Li Xu dengan pandangan aneh.

“Aku masih mencintai Aerin, Noona….”

“Cinta yang seperti apa….?”

“A-aku…aku….”

Li Xu kembali tergagap. Tak menyangka jika akan mendapatkan pertanyaan seperti ini.

“Kau tahu Li Xu-ya…dulu ketika kau membawa pergi adikku… aku yang menerima akibat dari perbuatanmu kala itu… harus melakukan segala cara agar suamiku tak melakukan hal-hal buruk pada kalian…”

“…..dia marah besar…wajar… dia merasa di hianati…oleh orang yang paling di sayanginya… perlu waktu lama untukku memperbaiki semuanya.. meredakan amarahnya… membuatnya perlahan mulai percaya jika kau….adalah pilihan terbaik untuk Aerin….”

Perempuan itu menghela nafas. Menatap Li Xu yang tak ingin menyela apapun yang akan dia katakan.

“Aku menaruh harapan besar padamu…harapan yang juga aku janjikan pada suamiku….. harapan jika kau akan membuat Aerin bahagia…membuat dunianya indah seperti apa yang selalu dia banggakan tentangmu…. Tapi…kau membuatku kecewa… Li Xu-ya…”

“….dan kini kau berkata kau masih mencintainya… apa kau sedang berusaha melucu atau apa…?”

“T-tidak Noonaa… aku…”

“Kau terlalu menakutkan Li Xu-ya….kau membuatku sulit untuk mempercayai ucapanmu…”

Li Xu menghela nafas berat. Apa tidak ada seorang pun yang mau memahami jika dia ingin berubah….?

“Tapi Noona…bukankah semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua….”, Li Xu berbisik lirih.

“Bukankah Aerin telah memberikanmu berjuta kesempatan…? Lalu apa kau gunakan kesempatan itu….?”

Perempuan itu menatap tajam Li Xu, membuat tubuh Li Xu meremang seketika. Tidak..tidak…pembicaraan ini harus dia yang memenangkan.

“Aku benar-benar menyesal Noona….dulu aku pikir aku akan bebas darinya jika dia tak ada…..”

Li Xu mengabaikan desis kesal dari perempuan di depannya itu dan kembali melanjutkan kalimatnya.

“Perlahan aku sadar Noona…jika aku tak bisa tanpa Ae….”

Kali ini Li Xu telah benar-benar tak peduli walau suaranya akan terdengar memohon dan menyedihkan.

Dia hanya ingin Aerinnya kembali. Ingin calon buah hatinya kembali.

“Chessy….”

“Noona….aku mohon….”

“Kau melupakan pertanyaanku Li Xu-ya…cinta yang seperti apa yang kau miliki…?”

“Noona…”

“Jika kau mencintai Aerin, bukankah kau akan bahagia jika dia bahagia dengan atau tanpamu….?”

Dalam kalimat bijak memang seperti itu. Jika kita mencintai seseorang lalu bla…bla.. tapi itu hanya dalam kalimat. Karena nyatanya bagi Li Xu melihat Aerin jauh dan lepas dari dirinya terasa jauh lebih membunuhnya.

“Noona….aku….tolong…”

“Bukankah cinta itu saling memberi…sedangkan kau… apa yang telah kau berikan untuk Aerin..?”, perempuan itu memainkan gelas dengan ujung jarinya. Masih menatap tajam Li Xu yang diam seribu bahasa.

“Karena itulah aku ingin minta maaf Noona… aku ingin memperbaiki kesalahanku…. aku tahu….kesalahanku sudah terlalu dalam…aku hanya ingin mendapatkan satu kesempatan Noona…hanya sekali….” Li Xu berkata pelan. Berusaha sebaik mungkin menyampaikan niat tulusnya.

“Jika kau gagal….apa konsekuensinya…?”

Li Xu termangu. Gagal…? Bagaimana jika dia gagal….?

Apalagi yang kali ini akan dia janjikan, kehidupan yang lebih baik…atau apa…?

Dan konsekuensi…apa yang akan dia berikan…? Dia sudah tak memiliki apapun….

Tidak…tidak…dia tak ingin kehilangan Aerin lagi. Jika dia mendapatkan kesempatan itu, dia bersumpah akan terus melakukan yang terbaik. Dia tak boleh dan tak akan gagal.

“Aku tak akan gagal Noona….”

Perempuan itu memicingkan matanya. Mengamati Li Xu dengan pandangan menilai. Menimbang sesuatu.

Bagaiamanapun juga…keputusan yang dia ambil kali ini juga tak boleh salah..karena ini menyangkut hidup adik dan calon keponakannya.

Perempuan itu masih memandangi Li Xu, mencoba mencari keraguan, kebohongan dimatanya, tapi nihil. Pemuda di hadapannya ini jujur dan sungguh-sungguh.

“Apa kau yakin Aerin masih mencintaimu….?”

Apa Li Xu yakin Ae masih mencintainya…? Pertanyaan itu pula yang sejak awal Li Xu gumamkan. Dia coba cari jawabannya. Namun, tak pernah ada jawaban pasti yang dia temukan. Yang ada hanya ketakutan-ketakutannya tentang penolakan yang mungkin akan dia terima.

Satu hal yang menjadi penyemangat bagi Li Xu, tak apa jika Ae tak lagi mencintainya. Li Xu akan tetap mencintai Aerin. Seperti apa yang dulu pernah dilakukan gadis itu untuknya.

Dia tak akan melepaskan Ae. Jika gadis itu menolaknya, dia harus mendengar dengan telinganya sendiri kata itu terlontar dari bibir Ae.

“Aku akan selalu mencintai Aerin, Noona….dia mencintaiku atau tidak, aku tak peduli…aku akan tetap mencintainya dengan caraku…..”

“Bisa aku mempercayaimu sekali lagi….?”

Li Xu terkesiap. Ya Tuhan…semoga dia tak salah dengar…apa ini artinya dia akan memperoleh kesempatan itu…?

Pemuda itu mengangguk yakin.

“Aku akan mencoba mengusahakan agar kau bisa bertemu dengannya Li Xu-ya…perbaiki kesalahanmu…ku harap kali ini kau tak mengecewakan aku….”

“Benarkah….? Terimakasih banyak Noona… aku berjanji….”

Perempuan itu memotong kalimat Li Xu.

“Jangan janjikan apapun Li Xu-ya….jangan berjanji apapun…aku tak perlu janjimu… aku hanya ingin pembuktian ucapanmu…”, perempuan itu bangkit dari duduknya. Melangkah meninggalkan Li Xu yang masih belum pulih dari trans akan kesempatan yang dia miliki.

“Noona…terimakasih…”

Perempuan itu berhenti, tanpa menatap Li Xu.

“Kau tahu….aku sudah menyelamatkan nyawamu dari suamiku dua kali…jika untuk ketiga kalinya…aku bersumpah…aku akan melenyapkanmu dengan tanganku sendiri…”

Perempuan itu beranjak. Masih sempat mendengar Li Xu berbisik lirih.

“Aku tak akan gagal Noona..percayalah..”

‘Tuhan… aku mendapatkan kesempatan ini.. Tuhan….aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini…. aku mencintai Ae…

Terimakasih untuk hidup yang masih kau berikan padaku Tuhan….aku akan melakukan apapun untuk menebus dosaku pada istriku dan calon buah hatiku…aku tak akan pernah menyakiti mereka lagi Tuhan…hukum aku bila itu terjadi…. Ameen….’

Li Xu memejamkan mata, memanjatkan sebaris harapan tulus dalam hatinya.

Hari ini….dia akan memulai semuanya dari awal. Mengejar Aerin hingga gadis itu kembali dalam pelukannya….

Dia harus berhasil….!!!

***end of this part***

Note:

Ni haoooo semuaaaa…..*lambai2….

Hahahaha…*ketawa gaje…semoga ini enggak gaje yaa…. *pundung…

Hanya mencoba membuat series baru…dan yah..sedikit sekuel dari ff yang lebih dulu tayang….

Part selanjutnya…coming soon ya..

Semua yang sudah mau berkunjung dan membaca… “TERIMAKASIH BANYAAAKK…!!!!!

Paii…pai…. ^^

***misshan***